Oleh Indah Noviariesta
Kualitas sastra yang berdaya imajinasi tinggi, biasanya melampaui sekat-sekat kesukuan, keagamaan bahkan sekat primordialisme dalam suatu jabatan dan profesi tertentu. Karenanya ia cenderung filosofis, hingga kalangan seniman maupun budayawan seringkali menjadi bagian dari garapan tokoh-tokohnya juga. Menurut sastrawan Nirwan Dewanto, imajinasi mampu menembus batas-batas ruang dan waktu, karena itulah suatu karya sastra (puisi) dapat menyibak masa lampau untuk menemukan masadepan yang belum terjamah.
Itulah salah satu pesan yang terungkap dalam kumpulan puisinya, “Jantung Lebah Madu”. Meski kemudian, dengan lantang ia berani menggugat para kurator Panduan Rekomendasi Buku Sastra, sambil mengakhiri surat terbuka yang dilayangkannya, “Saya tidak hendak ikut dalam kerusakan berlanjut yang melembaga ini. Dan anda sekalian janganlah menganggap bahwa para sastrawan itu semuanya girang bila buku-buku mereka masuk ke dalam daftar. Mereka harus dimintai persetujuan lebih dulu… saya mohon anda untuk tidak menyertakan buku puisi saya, Jantung Lebah Ratu, ke dalam daftar anda. Selamat bekerja.” (tempo.co)
Hal ini mengingatkan saya pada opini Kompas.id (9 Juli 2023), yang menyatakan adanya emansipasi kesadaran pada seorang presiden penyair kita, Sutardji Calzoum Bachri, bahwa dirinya telah mengalami pencerahan di usia 82 tahun. Pernyataan itu dipertegas oleh sahabatnya, Ahmadun Yosi Herfanda di perpustakaan H.B. Jassin (Taman Ismail Marzuki), bahwa di usia senjanya Sutardji telah menggeser konsep puisinya, bahkan mengubah kredo dan keyakinan spiritualnya. “Apakah sosok Sutardji, Jose Rizal Manua, Isbedy Stiawan dan lain-lain, yang pernah mendapat dukungan publik di era Orde Baru itu, masih dapat mengena di hati publik milenial akhir-akhir ini?” demikian gugat sang penulis dalam opini tersebut.
Gugatan itu seakan dilontarkan secara filosofis, bukan sekadar emosional belaka. Di tengah para sastrawan dan seniman yang mengalami krisis eksistensial akhir-akhir ini, mereka seakan menggapai-gapai cara untuk dapat membedakan takhayul, khurafat dengan nilai-nilai spiritualitas. Di tengah situasi terjepit, serba kekurangan tetapi hidup harus terus dijalani, pada akhirnya mereka sendiri mengalami apa-apa yang selama ini mereka tuliskan sendiri, secara khas, konkret dan faktual.
Seringkali kita melihat kegelisahan kaum sastrawan karena mereka memang cerdas dan jujur dengan realitas keseharian, bahkan tentang pengolahan ruang-waktunya. Kadang mereka sulit menemukan koneksi dengan sakralitas ajaran agama, tetapi justru lebih banyak bertanya, atau bahkan menggugat, bagaimana mungkin manusia memilih teks-teks ajaran agama daripada perikemanusiaan, pada saat ajaran itu menuntut kita agar selalu taat dan tunduk tanpa reserve, sementara seorang penganut agama tidak pernah diarahkan menjadi cerdas dan dewasa.
Di sinilah dakwah melalui karya sastra sangat berperan kuat, betapa debat-debat kusir tentang khilafiyah dan tetek-bengek urusan fiqih yang dianggap kurang mengena sasaran, tak mampu menembus wilayah esoterik yang menjadi inti dari kedewasaan iman yang sesungguhnya. Kadang-kadang seorang tokoh agama terjebak di wilayah normatif yang tak menyentuh asas humanitas demi pendewasaan manusia Indonesia. Maunya yang urik dan dangkal belaka. Mereka seakan kesulitan melepasakan diri dari kotak dan sekat-sekat primordialisme, sulit menyibak kabut-kabut untuk menembus pengertian sastra yang dari kodratnya memang sanggup untuk menembus ketinggian langit.
Tentu saja kualitas spiritual Nirwan Dewanto berbeda dengan masa satu atau dua dasawarsa lalu, sebagaimana yang dialami oleh pematangan spiritual Ahmadun maupun Sutardji yang sudah menginjak 8 dekade lebih usianya. Bagi mereka, tak ada urusan apakah karya-karyanya dimasukkan ke daftar kurikulum pendidikan maupun tidak, dibaca pelajar maupun tidak, tapi yang penting adalah kejujuran para sastrawan, bahkan menuntut segenap sastrawan agar berani “berhenti berbohong”.
Pencerahan dan proses kesadaran yang dialami Nirwan saat ini, boleh jadi akan memengaruhi penilaian akan masa lalunya, bahkan masa lalu karya-karya sastranya sendiri. Nirwan juga menyoal adanya disinformasi, bahkan kesalahan yang bersifat “sistematis” akibat cara kerja yang selama ini terus-menerus dipupuk, sejak masa rezim Orde Baru. “Bagaimana mungkin hasil kerja yang seceroboh dan seburuk ini (akan) digunakan untuk memajukan pendidikan dan persekolahan. Sungguh cara kerja yang berbanding terbalik dengan prinsip merdeka mengajar dan merdeka belajar,” demikian tegas Nirwan.
Untuk mengakhiri surat terbuka yang menantang perdebatan, Nirwan seakan menelanjangi kekolotan dan ketakhayulan yang sering dianut para sastrawan tua yang menganggap dirinya senior. “Apakah anda berani menarik keluar buku-buku anda sendiri dari tiga daftar (masing-masing untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas) itu, dan melibatkan orang lain yang lebih netral-merdeka dan berkompeten untuk memilih atau tidak memilih buku-buku anda? Kenapa anda sendiri yang memutuskan bahwa buku-buku anda penting bagi persekolahan dan pendidikan?”
Pada prinsipnya, Nirwan merasa jengkel karena sistem pendidikan kita selalu gemar mengunyah-ngunyah sesuatu yang sampingan dan bukan yang prinsipil. Baginya, tidak ada yang baru dalam kaitan dengan “Sastra Masuk Kurikulum” ini. Mereka hanya menjalankan program usang yang lapuk, yang bermuara pada pola pemikiran yang itu-itu saja. Padahal banyak sekali karya-karya sastra mutakhir yang ditulis oleh angkatan milenial saat ini, baik di NU Online, Kabar Madura, litera.co.id, Lensa Sastra, Ruang Sastra, alif.id, Jurnal Toddoppuli, Koran Tempo, Republika, Tangsel Pos, hingga Radar NTT, dan lain-lain. “Tetapi mengapa para tim penyusun kurikulum sastra itu masih sibuk mendendangkan lagu-lagu lama yang itu-itu juga? Bukankah program ini hanya akan meneruskan kebohongan dan kesalahan yang sudah-sudah?” demikian tandas Nirwan.
Apa-apa yang disampaikan Nirwan Dewanto itu perlu disikapi dengan kehati-hatian dan penuh kedewasaan. Bukan malah melontarkan caci-maki secara reaksioner seperti yang dulu-dulu. Hendaknya disikapi dengan lapang dan hati terbuka, dan dengan penuh keberanian untuk muhasabah dan introspeksi diri.
Ini bukan cuma perkara seberapa banyak menerima honor maupun royalti. Bagi Nirwan, pengertian sastra yang paling fundamen adalah perkara narasi atau wacana yang lebih mendewasakan. Untuk para pelajar dan mahasiswa, bersastra identik sebagai upaya mengungkapkan diri secara lisan dan tulisan, serta berpikir sebagai manusia yang merdeka. Ia mengkhawatirkan, jika buku-buku “eksperimental” yang dimasukkan ke dalam daftar, justru tak diimbangi dengan adanya guru maupun dosen yang menguasai kesusastraan dengan baik. “Saya sudah mengamati bertahun-tahun ini bagaimana para keponakan saya dan sedulur-sedulur saya belajar sastra di kelas, termasuk di sekolah-sekolah unggulan, dan hasilnya memilukan sekali. Metoda yang dibabarkan dalam buku panduan yang sedang kita persoalkan ini, tidak lebih baik daripada yang pernah ada sebelumnya,” tambah Nirwan.
Namun pada prinsipnya, kecerdasan Nirwan Dewanto dalam surat terbukanya itu merupakan panggilan zaman yang memang sudah selazimnya. Baginya, karya sastra yang baik akan senantiasa melahirkan kedalaman makna, serta estetika bahasa yang sulit tertandingi oleh karya-karya jenis lainnya. Hingga detik ini, ratusan dan ribuan karya sastra milenial telah berhasil memikat hati banyak orang. Mengapa kita masih malu-malu kucing untuk melibatkan mereka? Bahkan, tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun atau dekade ke depan, akan menjadi karya-karya adihulung sebagaimana banyak orang meremehkan karya besar Pramoedya di tahun awal penciptaannya.
Demikian pula ditegaskan secara tendensius oleh penulis novel Pikiran Orang Indonesia: “Jika bangsa ini tak pernah mengenal kualitas sastra dengan baik, sebanyak apapun pemerintah menyodorkan kail-kailnya, rakyat Indonesia tetap hanya akan sibuk memperebutkan ikan-ikannya.” (*)
– Alumnus jurusan Biologi, Untirta Banten, aktivis Gerakan Membangun Nurani Bangsa, prosaik milenial di berbagai media nasional cetak dan online.