Oleh: Hafis Azhari
Lelaki remaja itu pindahan dari SMP Karangantu, Banten, dan langsung bergabung dengan siswa-siswi kelas satu di sekolah kami SMP Cipayung, Kota Bandung. Konon, dia cukup mahir memperagakan atraksi debus, tidak mempan dibacok, bahkan kebal dari panasnya bara api. Tetapi, yang membuat saya merasa jengkel, dia mengaku-ngaku bisa membaca pikiran orang.
“Berarti, kamu juga bisa membaca pikiran saya?” tanya saya di pagi yang mendung itu.
“Bisa, Pak, ” jawabnya ketus sambil menatap mata saya. Sejenak ia terpejam, menarik napas panjang, dan ujarnya, “Sekarang Bapak mau berangkat ke Gedung Kartini 2, untuk mengajar sastra di kelas tiga A.”
Saya menghela napas. Aneh sekali? Kok bisa dia menebak apa yang akan saya lakukan, dan boleh jadi apa-apa yang saya pikirkan? Bukankah baru kali ini saya melihat dan mengenal bocah lelaki yang hanya beberapa minggu baru masuk sekolah kami? Bukankah dia masih sekitar 13 tahun, mengenakan kemeja dan celana hitam yang agak lusuh, karena mungkin sudah beberapa hari belum dicuci dan diseterika.
“Siapa nama kamu?” tanya saya kemudian.
“Kadir,” jawabnya tak acuh.
“Kadir atau Khidir?”
“Kadir, Pak… Kadir Fadilah.”
“Saya enggak nanya nama lengkap kamu,” canda saya.
Dia menatap saya dengan serius, lalu balasnya, “Tapi saya melihat pada mata Bapak, seperti ingin menanyakan nama lengkap saya?”
Saya memerhatikan seraut wajahnya yang kusam, dan saya mempercayainya ketika dia menjelaskan kemampuannya bermain debus dan pencak silat, bersama rombongan pemain debus yang tampil sebulan sekali di alun-alun kota Serang dan lapangan masjid agung Banten. Tetapi, soal membaca apa yang saya perbuat dan apa yang saya pikirkan, saya belum begitu yakin.
“Pak Guru enggak usah meragukan kemampuan saya… nih, lihat,” ia menyingsingkan bajunya dan menunjukkan lengannya yang agak berotot. “Golok setajam apapun tak mungkin sanggup melukai bagian manapun dari tubuh saya ini,” sambungnya dengan wajah angkuh.
Ya, mungkin saja dia benar. Saya sendiri tak mengerti apa-apa tentang atraksi dan permainan debus, meskipun sedikit paham tentang olahraga pencak silat.
Kadir mendelik seakan mengamati gerak-gerik saya. Ia duduk di tepian sungai yang mengaliri serambi sekolah kami. Ia menjulurkan kedua kakinya hampir menyentuh air, karena sepanjang malam wilayah Bandung dan sekitarnya telah diguyur hujan lebat. Saat itu, waktu istirahat sekitar jam setengah sepuluh, pada awal bulan November ketika sorot matahari pagi agak redup karena tertutup awan. Saya memerintahkannya agar bermain dengan teman-teman lain, dan jangan menyendiri terus di sekitar sungai.
Tiba-tiba terlihat Bu Guru Irawaty di kejauhan, sedang melangkah menuju kantor kepala sekolah, dengan langkah kaki yang agak tergesa-gesa. Kadir mengangkat tatap matanya dan melihat Bu Guru dengan seksama. Saya merasa jengkel ketika dia mengamati wajah gurunya dengan mata melotot berkaca-kaca.
“Kenapa Bapak bilang, saya ini murid aneh?” tanya Kadir tiba-tiba.
“Lho? Apakah saya bilang kamu murid aneh?” dengan kesal saya balik bertanya.
“Tapi Bapak merasa kesal pada saya, iya kan?”
Saya agak terkesiap, pura-pura tak peduli dan terus saja menatap ke arah rerimbunan pohon di sekitar sungai.
“Kenapa Bapak bilang saya ini bocah Banten sialan?”
“Sejak tadi saya diam, dan enggak ngomong apa-apa, Kadir,” tegur saya sambil memancangkan pandangan ke seberang sungai. Seketika itu, lagi-lagi remaja kumal itu mengatakan dirinya bisa membaca pikiran saya. “Jadi, sejak tadi saya memperhatikan muka Pak Hafis, dan saya membaca kalau Bapak ini merasa jengkel pada saya, iya kan?”
“Tapi, apakah saya bilang bahwa saya merasa jengkel?” tanya saya dongkol.
“Bapak memang enggak bilang jengkel sama saya, tapi saya bisa membaca kalau pikiran Bapak mengatakan dongkol pada saya, iya kan?” tantangnya sambil memiringkan wajah dan tangan bersedekap.
Saya menghela napas, diam tak acuh. Sebodo amat. Saya merasa tak perlu membalas ocehannya. Bagi saya, tak ada gunanya berdebat dan membikin kegaduhan dengan remaja yang baru saya kenal, sekaligus murid saya sendiri. Tak ada yang tampak mengancam dalam pandangan saya. Juga tak ada alasan untuk takut atau curiga kepadanya. Saya memerhatikan sepatu olahraga yang dekil dipakai lelaki itu. Ia mengikuti tatapan saya dengan lagak seorang pemain pencak silat yang sedang menghadapi lawan tandingnya.
Bu Guru Irawaty mendekati kantor kepala sekolah, seraya memberesi berkas-berkas di map merah. Lalu, saya pun kontan bertanya kepada Kadir, “Sekarang, coba kamu tebak… apa yang sedang dipikirkan Bu Guru itu…?”
Ia memicingkan matanya, “Saya belum tahu,” katanya sambil menggeleng, dan tangan masih bersedekap.
“Lho? Kok enggak tahu?” celetuk saya.
“Bukan enggak tahu, tapi belum tahu, karena mukanya membelakangi saya.”
Kadir diam sejenak, tak berapa lama ia mulai menghadap ke arah saya, “Sekarang saya tahu, Pak Hafis sedang meremehkan saya, iya kan?”
“Ya, tentu saja saya agak meremehkan kamu,” jawab saya menantang.
“Tapi posisi Ibu Irawaty kan masih jauh? Nanti kalau dia sudah dekat, dan mukanya menghadap ke saya, tentu saya akan membaca pikirannya.”
“Dan kamu akan memberitahu pada saya?”
“Iya dong, Pak,” katanya ketus dengan mata menyalang.
Saya pun memanggil Bu Guru Irawaty sebentar, lalu Kadir mulai membaca pikirannya, serta-merta menyatakan bahwa keperluan Bu Guru akan melaporkan jumlah murid yang sakit dan tidak masuk sekolah dalam minggu-minggu ini. Seketika, saya dan Bu Guru Irawaty jadi terkesima sambil terpaku diam.
“Kamu tahu jumlah murid yang sakit?” pancing Bu Guru Irawaty.
“Kemarin lima, sekarang tinggal tiga orang,” tandas Kadir dengan mata berkaca-kaca, hingga Bu Guru terbengong-bengong.
“Lalu, murid yang dirawat di rumah sakit?”
“Tinggal satu orang lagi.”
Saya dan Bu Guru Irawaty saling bersitatap sambil tersenyum heran dan geleng-geleng kepala.
Sekarang, perhatian saya terpusat pada gaya bicara Kadir yang lekat dengan logat Sunda dan Jawa Banten. Bu Guru memperingatkannya agar berpakaian dengan rapi, karena bajunya terlihat lusuh dengan kerah yang terlipat ke dalam. Rambutnya agak gondrong dan berantakan. Ia mengenakan celana gombrang dan agak kedodoran, hingga menimbulkan kesan di pikiran saya bahwa bocah itu, tadinya hanya anak nelayan yang tak terurus, dan tinggal di sekitar bantaran sungai Karangantu di Banten Utara. Bapaknya mungkin seorang yang kasar dan galak, atau ibunya memakaikan baju dan celana semaunya, bahkan tak pernah ada waktu untuk menyisir rambutnya yang berombak dan agak keriting.
“Siapa bilang seperti itu?”
Lagi-lagi dia nyeletuk sambil menatap muka saya.
“Bilang apa, Dir?” tanya saya kaget, “saya enggak ngomong apa-apa kok?”
“Bapak saya enggak galak kok, Pak?” sahutnya lagi.
Mata saya memicing, mengerutkan dahi. Apa memang benar bocah ingusan ini bisa membaca pikiran saya?
“Dan saya bukan bocah ingusan… sejak umur sembilan tahun, ibu saya bilang, hidung saya enggak mengeluarkan ingus lagi, sampai sekarang.”
Nah lho? Bahkan, sampai pada soal ingus pun, dia mampu menebak apa yang saya pikirkan?
“Oke, sekarang lihat tuh, ada Pak Feri yang selesai mengajar di Gedung Tan Malaka. Apa yang akan dia lakukan setelah mengajar ini?” pancing saya lagi.
Kadir mengerutkan kening dan memicingkan sebelah matanya, lalu dengan tegas dia menjawab, “Pak Feri sedang siap-siap mau bergabung di ruang guru untuk menonton teve, dan menyaksikan pertandingan final bulutangkis siang ini.”
“Pak Feri sedang siap-siap?” tanya saya.
“Ya, beliau akan menuju ke kantor guru, sekitar jam sepuluh pagi ini, seperti itulah, Pak.”
“Seperti itu?”
“Ya!” katanya mantap.
Saya terkesima menatap matanya yang kusam, seakan menyorot ke arah Pak Feri yang saat ini sedang keluar kelas dan mengenakan sepatunya. “Jadi, kamu yakin, Pak Feri mau nonton pertandingan final bulutangkis bersama guru-guru lainnya?”
“Yakin, Pak.”
“Seratus persen?”
“Seribu persen malah!”
“Siapa saja yang mau nonton bareng Pak Feri?”
“Ada Pak Zakaria, Pak Witjaksono, Bu Noviariesta, Pak Iskandar, Bu Lestari, Pak Sukra, lalu…”
“Cukup, cukup, ya sudah, sekarang sudah bel, kamu berangkat ke kelas dulu.”
“Tapi nanti dulu, Pak, pagi ini saya datang menemui Pak Hafis di sini, karena saya mau menyampaikan sesuatu yang penting pada Bapak tentang masalah kita…”
“Masalah kita?”
“Ya, masalah kita… tapi sebelumnya, saya mohon agar Bapak menyimpan rahasia ini…”
“Rahasia apa, Dir?” tanya saya heran.
“Begini, Pak,” ia menggeser posisi duduknya, berdehem beberapa kali, dan sambungnya, “Sejak hari pertama saya sekolah di sini, saya melihat adanya sesuatu yang janggal pada diri Bapak… semacam kelebihan begitu…”
“Kekurangan, kali?” canda saya.
“Bukan, Pak, saya melihat ada sesuatu yang menakjubkan dalam diri Bapak, tapi… sebelumnya saya mohon bahwa seguru seilmu tak boleh saling mengganggu…”
“Ngomong apa sih kamu, Dir, saya enggak ngerti?” protes saya.
Dia terdiam sejenak, dan katanya lagi, “Ah, Bapak… saya kan sudah menunjukkan keahlian bahwa saya bisa membaca pikiran orang, tetapi saya juga bisa membaca bahwa Bapak ini punya semacam keahlian khusus yang tidak dimiliki orang lain.”
“Keahlian apa?” tanya saya sangsi.
“Bapak punya keistimewaan tersendiri, saya tahu itu.”
“Keistimewaan apa, Kadir?!”
Saya makin penasaran, sambil garuk-garuk kepala dengan dahi mengernyit. Keistimewaan apakah yang saya miliki? (pikir saya).
Akhirnya, saya pun memutuskan untuk mengatakan sesuatu sambil memancangkan tatapan ke muka siswa asal Banten itu, “Oke, kalau begitu menurut kamu, baiklah. Kamu memang benar bahwa saya punya kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki orang lain. Begitu kan? Tapi sekarang ini, saya memutuskan untuk menggunakannya hanya di depan kamu saja.”
“Serius, Pak? Ayo coba, saya pengen lihat?” desak Kadir penasaran.
Saya memejamkan mata, kemudian menadahkan kedua telapak tangan dalam keadaan meregang. “Sekarang, saya akan berusaha menghilangkan kemampuan kamu dalam membaca pikiran orang…”
Tiba-tiba, dia melompat ke arah saya, “Nanti dulu, Pak, tolong jangan lakukan itu, Pak Guru….”
Terus saja saya mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, pura-pura mengembangkan jari-jemari seperti cakar ayam. Kadir mulai berkeringat. Alis dan bibirnya gemetar, bahkan cuping hidungnya kembang-kempis.
“Selain menghilangkan kemampuan kamu membaca pikiran orang, saya juga bisa melenyapkan kamu dari tepi sungai ini.”
Mulut saya mulai komat-kamit, pura-pura merapalkan mantra sakti.
“Jangan, Pak, tolong jangan lakukan itu, Pak Guru, tolooong!”
“Kenapa saya enggak boleh melakukan ini, bocah ingusan?” teriak saya keras-keras.
Kadir meringkuk sesenggukan, dan berlutut di hadapan saya, “Tolong, Pak Hafis, jangan melenyapkan saya, Pak… nanti ibu saya enggak kasih uang jajan… juga Bapak saya akan marah-marah memukuli saya, kalau saya sampai menghilang lagi, tolonglah Pak….”
“Baik, sekarang bangun!” teriak saya keras-keras.
Kadir mengangkat kepala, pelan-pelan bangun dan suaranya masih mengaduh. Tampak ingusnya keluar dari kedua hidung. Ia pun meminta maaf pada saya, kemudian cepat-cepat pergi menuju kelas untuk mengikuti pelajaran.
Menjelang jam sebelas, para murid diliburkan selama dua jam pelajaran untuk menyaksikan pertandingan final bulutangkis di ruang aula. Satu-persatu para guru mulai memasuki kantor guru, bersiap-siap menyaksikan kejuaraan bulutangkis. Pukul 10.45 beberapa saat pertandingan akan dimulai, muncul Pak Feri setelah memberikan materi untuk pelajaran Biologi. Sebelum melangkah menuju kantor ruang guru, saya pun memanggilnya dari ruang koperasi pelajar. “Pak Feri! Ke sini sebentar, Pak!”
Sebagai bawahan saya dalam struktur kepengurusan sekolah, ia segera menghampiri dan menghadap saya di ruang koperasi pelajar.
“Pak Feri, ada waktu enggak? Tolong ketik soal-soal buat ulangan anak-anak besok, karena saya sedang buru-buru menyelesaikan majalah dinding, dan siang ini mau saya konsultasikan ke kantor kepala sekolah.”
“Soal ujian untuk pelajaran apa, Pak?” tanyanya kemudian.
“Untuk pelajaran Sosiologi, dan saya mencoba memperbanyak soal-soal tentang riset dan penelitian ilmiah.”
“Tapi, saya mau nonton bulutangkis dulu di ruang guru, Pak?”
“Kalau bisa, nonton bulutangkisnya di ruang koperasi saja, di sana juga ada teve kok.”
“Oke siap, Pak, akan saya kerjakan.” Dan ia pun segera masuk ke ruang koperasi untuk mengetik soal ujian Sosiologi, sambil menyaksikan pertandingan final bulutangkis.
Beberapa menit kemudian, seusai mengerjakan soal-soal ujian, pertandingan bulutangkis pun selesai. Tak berapa lama, acara diselingi iklan, dan Pak Feri menyatakan diri pamit untuk menuju kediamannya di Jalan Ahmad Yani, hanya dua kilometer jaraknya dari sekolah kami.
Dari kejauhan, saya menyaksikan Kadir sedang menuju pintu gerbang sambil menghampiri Pak Feri seraya menyapanya dengan santun, “Pak, habis nonton bulutangkis, kan?”
“Ya benar, ada apa, Kadir?”
“Di kantor ruang guru, bersama guru-guru lainnya, kan?”
“Bukan, bersama Pak Hafis di ruang koperasi. Emangnya kenapa, Dir?” Pak Feri mengerutkan kening sambil bertanya-tanya heran, kemudian ia pun memberi nasehat, “Kamu itu jangan suka mengkhayal yang macam-macam. Kalau mau jadi siswa yang baik, kamu harus rajin belajar menuntut ilmu, ngerti?”
“Ya saya ngerti, maaf Pak.” Kadir pun mencium tangan Pak Feri, manggut-manggut sambil ngeloyor pergi dan menghilang di kejauhan.
Di sepanjang jalan, mungkin dia berpikir, bahwa saya telah melenyapkan kemampuannya membaca pikiran orang, atau barangkali dia takut kalau-kalau saya bisa menghilangkan dirinya seperti nyala korek api yang tiba-tiba lenyap karena berhasil saya tiup. Cling! (*)
(Pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten)