Pemerhati Lingkungan: Masyarakat Sumenep Harus Cerdas terhadap Dampak Buruk Tambang

News165 views
Banner Iklan

KABARMADURA.ID | SUMENEP-Dinamika dan persoalan maraknya galian C di Sumenep mendapat perhatian dari beberapa elemen. Salah satunya peneliti Tim Kerja Perempuan dan Tambang. Pasalnya Madura, khususnya Sumenep, sudah mengalami dampak buruk dari pengelolaan tambang tersebut.

Menurut Pendiri Tim Kerja Perempuan dan Tambang Mega Triani, Maimunah, penambangan itu dapat dikategorikan liar dan pasti ada dampak lingkungan. Baik jangka pendek dan panjang.

“Jika banjir sudah sering terjadi pada curah hujan tertentu, maka bumi Madura sudah tidak baik-baik saja. Jangka panjangnya bakal mengalami kekeringan nantinya,” kata dia, saat dihubungi Kabar Madura.

Maimunah juga menyatakan bahwa pelestarian tambang, tanah, maupun yang terbongkar, juga tidak hanya berdampak pada stabilitas lingkungan, tetapi juga berdampak terjadinya konflik sosial.

Tanah yang terus dikeruk pada akhirnya tidak kembali, rusak. Kerusakan itu sebagai faktor terjadi konflik sosial berkepanjangan. Masyarakat yang akan memikul dampaknya, saling menyalahkan satu sama lain. Sehingga ancaman tersebut harus diperangi bersama.

“Misalnya saja ada masyarakat yang tertimbun galian hingga nyawanya melayang. Itu cikal bakal terjadinya konflik. Pemerintah daerah harus tegas mengatasi itu,” imbuhnya.

Baca Juga:  Biarkan Tambang Ilegal, Pemerhati Lingkungan Kritik Pemerintah

Jadi, jangan hanya sekadar diam menyaksikan maraknya galian, libatkan seluruh sektoral dalam skala kebijakan. Pemerintah daerah harus berani intervensi hingga ke skala nasional, skala provinsi dalam melindungi stabilitas lingkungan dan kondusivitas masyarakat.

Dia juga meminta agar masyarakat lebih cerdas dalam menolak pertambangan, harus aktif mendapatkan informasi tepat. Mereka bisa belajar dari daerah-daerah lain yang sudah rusak dan berkonflik sejak ada tambang.

“Jangan mau ditipu, bayangan kesejahteraan dengan adamya pertambang, mereka tidak akan mendapatkan, kecuali penyesalan jangka panjang,” paparnya.

Dia melanjutkan, daya rusak sebab tambang tidak bisa diprediksi, salah satu kerusakan ekosistem karst. Belum lagi, polusi udara, dan debu yang akan mengganggu sistem pernapasan manusia.

“Masyarakat harus paham, kerusakan itu tidak bisa pulih kembali, jika pun bisa butuh waktu yang sangat lama. Misalnya, pembentukan sebuah kawasan fosfat perlu seribu tahun lebih untuk pemulihannya,” ujar dia.

Baca Juga:  Bupati Sumenep Gerak Cepat Bantu Anak dengan Kelainan Usus

Wanita yang juga peneliti Sajogyo Institute melanjutkan, penambangan itu merupakan pola-pola oligarki dalam mengeksploitasi lahan. Ada elit yang bermain dari tingkat pusat sampai lokal, pebisnis yang merangkap sebagai politisi menetapkan kebijakan berimplikasi kepada rakyat, padahal demi kepentingan diri atau kelompok, salah satunya dengan berani merevisi RTRW.

“Masyarakat di daerah itu diberi pemahaman, bila terbangun tambang akan ada keuntungan. Mereka akan mendapat kesejahteraan. Padahal itu bohong,” pungkasnya.

Sementara Pemkab Sumenep tetap melanjutkan revisi RTRW yang diajukan sejak 2018. Tetap berjalan diprosesnya. Saat ini sudah berada di pemerintah pusat.

Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Sumenep Yayak Nur Wahyudi mengatakan, revisi RTRW sudah jalan prosesnya, tahun ini diharapkan rampung. Sehingga dengan selesainya revisi RTRW itu dapat menjadi rujukan pertambangan di Kota Keris ini.

“Tujuannya memang untuk menata lingkungan, insya Allah tahun ini sudah rampung,” paparnya.

Pewarta: Moh Razin

Redaktur: Wawan A. Husna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *