MUHAMMAD FUJI SAPUTRO
*Pengamat pendidikan, politik, dan kebijakan publik
Di dalam kurun waktu satu pekan terakhir, jagat maya dihebohkan dengan beberapa orang tua siswa yang protes ke Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Nadiem Makarim). Mereka menginginkan Nadiem selaku pemegang keputusan di dunia pendidikan Tanah Air untuk melarang penyelenggaraan wisuda di sekolah TK (Taman Kanak-kanak) hingga SMA (Sekolah Menengan Atas), seperti salinan keluhan berikut :
“Pak Nadiem, sekarang ini di kebanyakan sekolah dari jenjang TK (Taman Kanak-kanak), SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), dan SMA (Sekolah Menengan Atas) mengadakan wisuda untuk kelulusan, tolong pak untuk mengambil kebijakan agar di beri larangan supaya tidak memberatkan biaya org tua karena didalam acara tsb org tua mengeluarkan uang untuk sewa toga, make up, sewa gedung, beli buket, dan lainnya sedang kan masih harus memikirkan biaya pendaftaran dan persiapan sekolah selanjutnya. besar harapan kami pak Nadiem mau membantu ???? terimakasih pak sebelumnya salam dari saya,” tulis akun @arifin_olif.
Hal itu dinilai semakin menambah berat beban orang tua, mengingat orang tua juga harus memikirkan biaya untuk kelanjutan pendidikan anaknya di jenjang selanjutnya. Uang yang seharusnya dipakai untuk kebutuhan lainnya, namun dengan adanya wisuda anaknya terkadang ada orang tua yang berhutang agar anaknya bisa ikut wisuda, hal ini terkesan dipaksakan, sehingga alangkah baiknya tidak dilakukan demikian, namun hanya tasyakuran atau acara perpisahan sederhana. Dikumpulkan dari berbagai sumber bahwa rata-rata wisuda TK (Taman Kanak-kKana) bisa mencapai kurang lebih Rp400 ribu. Hal ini sudah termasuk biaya Ijazah, sewa baju, Foto serta beberapa keperluan lainnya.
Wisuda TK (Taman Kanak-Kanak) sampai SMA (Sekolah Menengah Atas) gelarnya apa?
Dari sini apa yang pantas disematkan untuk gelar pada lulusan TK (Taman Kanak-Kanak) ? Apakah namanya menjadi Fulan, TK ? hingga Fulan, SM. A ? Sekolah TK sampai SMA itu kan wajib alias mandatory. Untuk apa dirayakan ? Ini adalah argumen terkuat dalam kritik melawan wisuda-wisudaan di seluruh dunia. Banyak pihak yang mempertanyakan urgensi dari perayaan tersebut. Karena tidak ada urgensi penyematan gelar dan pengakuan dari lulusan pendidikan wajib. Bukan berarti ini merendahkan lulusan TK sampai SMA. Gelar yang disematkan itu menandakan bahwa pemilik gelar itu spesialisasinya di bidang apa, sehingga dari sini harus diperbaiki lagi masalah wisuda yang ada.
Sejarah Wisuda
Wisuda pertama kali diselenggarakan oleh universitas di Eropa pada abad ke-12. Meskipun tidak ada keterangan yang jelas mengenai universitas mana yang pertama kali mengadakan wisuda, tujuan dari acara tersebut sudah jelas, yaitu memberikan pengakuan berupa penganugerahan gelar kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan masa studi mereka dan berhasil mempertahankan tesis mereka. Setiap universitas dan negara memiliki sejarah wisuda yang unik bagi mereka. Namun, secara umum, topi dan toga telah menjadi ciri khas dalam acara wisuda. Inspirasi untuk menggunakan toga berasal dari pakaian yang biasa dikenakan oleh civitas academica di Timur Tengah.
Tahukah Anda, kata “wisuda” sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa, yaitu “wisudha,” yang memiliki arti pelantikan bagi seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan. Prosesi wisuda selalu dikaitkan dengan penggunaan pakaian toga. Ternyata, kata “toga” berasal dari Bahasa Latin, yaitu “tego,” yang berarti penutup.Pada awalnya, toga merupakan jenis jubah yang digunakan oleh masyarakat pribumi Italia atau bangsa Etruskan. Seiring berjalannya waktu, toga kemudian diadopsi oleh bangsa Romawi sebagai pakaian resmi mereka. Akhirnya, University of Oxford dan University of Cambridge sebagai perguruan tinggi pertama meresmikan penggunaan toga sebagai pakaian kelulusan dalam upacara wisuda.
Pakaian toga wisuda memiliki makna simbolis yang melambangkan pencapaian dan pengakuan atas prestasi akademik. Sedangkan bentuk persegi pada topi toga diyakini melambangkan buku secara simbolis. Namun, ada juga pendapat dari sejarawan lain yang menyatakan bahwa bentuk persegi pada topi toga melambangkan filosofi bahwa seorang sarjana dituntut untuk berpikir rasional dan mampu melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Maka dari berbagai keterangan tadi bisa disimpulkan bahwa urgensi yang terkandung di dalamnya harus dipikir lebih matang, agar kekecewaan dan biaya yang memberatkan orang tua siswa tidak terulang Kembali. Serta wisuda harus dikembalikan seperti awal sejarah yaitu pada kelulusan minimal pada Pendidikan lanjutan (Sarjana).