Chudori Sukra
Upaya untuk mendiskreditkan peran sastra dan sejarah di negeri ini, tentu bisa ditampik manakala kita membuktikannya dengan karya dan kreasi yang mumpuni. Bukan dengan mencak-mencak dan marah-marah gak karuan. Juga bukan dengan sibuk mencari komunitas untuk bergerombol membangun forum gosip dan fitnah terselubung. Melainkan dengan membuktikan diri menciptakan identitas sastra baru, berikut tantangan universalitas yang harus kita hadapi bersama.
Sudahkah kita memiliki keterpaduan antara karya sastra dan kritik sastra yang mengimbanginya? Padahal, di situ akan tercipta harmoni dan keseimbangan, hingga kita layak diperhitungkan ke dalam lanskap sastra dunia secara lebih luas. Sudahkah sastrawan kita pantas (atau memantaskan diri) menjadi masyarakat literate yang sanggup bersaing dengan peradaban sastra dunia? Sudahkah kita berupaya untuk bangkit dari kegagalan masa lalu, sehingga lagi-lagi kita tidak termarjinalkan sebagai gerombolan sastrawan yang “gagal paham”?
Kita ingin sekali diperhitungkan oleh masyarakat dunia, tapi di sisi lain kita masih saja terperangkap dalam kerangkeng binatang bertahun-tahun, yang ketika dibukakan pintunya, tetap saja kita sulit untuk melanglang buana, mandiri, tetapi justru minta dikerangkeng lagi. Kita akan sulit memiliki klaim identitas manakala kita tak sanggup membangun “kemandirian”. Itulah yang sejak dulu diwanti-wanti bapak bangsa kita agar memiliki kemandirian dalam kebudayaan. Karena, dengan itu kita akan terarah ke dalam pola dan kerangka pembangunan manusia Indonesia, baik secara kultural maupun spiritual.
Di sisi lain, tidak sedikit kalangan status quo, yang tetap saja ngotot, tak mau mengakui kehadiran para pendatang baru, yang – dapat dipastikan – akan mengambil-alih tampuk kendali kekuasaan lama, yang masih gemar mengunyah-ngunyah mazhab surrealisme. Padahal, sastrawan dan seniman bukanlah nabi maupun rasul. Kehidupan seniman sarat kesalahan dan kekhilafan. Bahkan, para nabi dan rasul pun masih membutuhkan “kritik” untuk mengimbangi sikap dan perbuatannya demi perbaikan di masa depan.
Tetapi ironisnya, di negeri ini seakan-akan profesi sastrawan sedemikian sakti dan sakralnya, seakan kebal dari segala kritik. Hal itu mungkin telah dikondisikan selama tiga dekade lebih menginduk kepada otoritarianisme rezim militer, berikut dengan oligarki kebudayaan yang melingkupinya. Disadari atau tidak, faktanya memang begitu. Seringkali kita mendengar adanya forum, ketika penyair dan sastrawan tua marah-marah menghadapi generasi milenial yang menyoal keabadian sastra yang telah mereka suguhkan sejak masa Orde Baru.
Kemandirian, bagaimanapun akan menghadirkan otoritas, bahkan otentisitas artistik dalam berkarya. Kita masih ingat ketika penulis novel Pikiran Orang Indonesia (POI), dengan legawa menyatakan karya-karyanya memang berbeda dengan realisme Eka Kurniawan. Dalam suatu pertemuan kebudayaan di kalangan para mahasiswa sastra, pelajar dan santri di pesantren Al-Bayan (kompas.id, 14 November 2021) Hafis Azhari menyatakan, bahwa melalui novel POI, ia ingin membongkar memori kolektif bangsa ini, tak terkecuali para seniman dan sastrawannya.
“Sebagai penulis dan sastrawan, kita jangan mau ditakut-takuti, karena takut itu memasung imajinasi, dan takut itu frekuensinya Iblis. Penguasa yang zalim di masa Orde Baru, lebih menyuburkan ketakutan massa, ketimbang menentramkan rakyatnya,” demikian tegas Hafis Azhari.
Hafis menandaskan pentingnya babak baru kesastraan kita, dengan tidak melulu bertumpu pada Eropasentris atau Amerikasentris, namun harus terampil menelusuri identitas baru keindonesiaan kita. Terkait dengan itu, Pearl S. Buck (The Good Earth) telah memperingatkan para intelektual dan sastrawan kita, yang menjadi bagian dari kegenitan watak dan perilaku masyarakat Asia: “Mengapa para penulis Asia begitu mudah menganut paham yang didakwahkan oleh para pemikir dan filosof Eropa. Padahal, tidak sedikit dari orang-orang seperti kami, para penulis Eropa yang merasakan keterpurukan manusia-manusia Faust sebagai pahlawan dan ksatria menyedihkan, dengan hati dan jiwa-jiwa muram dan gersang.”
Untuk itu, kita memerlukan standar kita sendiri. Standar sastra manusia Indonesia, dengan beragam corak nilai-nilai aliran dan mazhab, ortodoksi, dan konservatifisme, yang sulit menerima kemodernan. Atau juga sebaliknya, justru menerima mentah-mentah peradaban modern tanpa sikap kritis.
Untuk mencapai sasaran yang ideal, tentu kita membutuhkan sarana tertentu. Karena bagaimanapun, sekali lagi, memunculkan sastra milenial hingga menghidupkan kritik adalah bagian penting lantaran ia merupakan tradisi intelektual sejak zaman dahulu. Kritik sastra memuculkan standar-standar yang memungkinkan adanya koreksi atas kekeliruan yang mungkin dilakukan oleh pengarang dan sastrawan.
Jika para nabi dan wali saja bersikap legawa menerima kritikan, apatah lagi sekelas sastrawan yang merupakan profesi biasa, yang tentu lebih sarat kekhilafan dan kekeliruan juga.
Kritik sastra akan menjadi cermin dan teladan bagi para pembaca untuk mencapai keseimbangan kosmik, bahkan kesenangan imajinasi. Kritik mengarahkan pembaca pada sasaran-sasaran yang ingin dicapai bersama. Menurut Hafis Azhari, kritik sastra akan menjadi pilar dan tiang utama, dan akan menjadi panduan bahasa hingga seluruh bangunan pengetahuan kita.
Bagaimana mungkin sastrawan terangsang untuk menghasilkan sesuatu yang baru dan bermutu, jika tanpa disertai kritik sastra? Melalui para kritikus sastra, seperti Fredric Jameson, Ihab Hassan hingga John Barth, kita mengenal jenis-jenis sastra pasca modern yang luar biasa sejak awal tahun 1980-an. Melalui kritik-kritik sastra yang tajam, kelak dilahirkan “dirty realism” hingga “meta-realism” yang dapat menyemarakkan karya sastra berikut perubahan dan pembaharuan yang saling bersinambung.
Jadi pada prinsipnya, bangsa ini membutuhkan kemandirian dalam bersastra. Dengan demikian membutuhkan media kritik sebagai pengawas yang akan menandai kelahiran sastra milenial kita. Bagaimanapun, kritik adalah “darah” yang harus mengalir dalam tubuh agar manusia tetap hidup. Tanpa kritik, dunia sastra dan kebudayaan kita akan terus-menerus loyo dan lamban untuk bergerak maju.
Di sisi lain, tanpa kesanggupan menyikapi kritik dengan sikap legawa dan rendah-hati, kita akan sulit keluar dari lorong-lorong kegelapan. Tetapi, hanya sibuk berkutat untuk terus-menerus mengutuk kegelapan.
Bagaimanapun, kritik sastra akan senantiasa menghidupkan, mengawasi, bahkan menandai setiap produk budaya. Dengan semua itu, sastrawan kita di kemudian hari bisa membandingkan, mempelajari dan menghasilkan klaim identitas. Kita benar-benar membutuhkan itu. Untuk tujuan kemandirian sastra Indonesia. ***
❖ Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), menulis esai dan prosa di harian Kompas, Jurnal Toddoppuli, Kabar Madura, Haluan, Kabar Banten, nusantaranews.co, ruangsastra.com, alif.id, islami.co, kompas.id, Bhirawa Online, Nu Online dan lain-lain.