Rapuhnya Kesadaran dalam Urgensi Pendidikan

Opini52 views

Oleh : Jauharotul Makniyah
Dosen Universitas Al Amien Prenduan, Alumni S3 Unmuh Malang

Di dalam kelas saat kegiatan pembelajaran berlangsung, seorang guru bertanya; siapakah calon pendamping hidup yang akan dipilih? Apakah orang yang berilmu, ataukah orang yang sudah mapan (secara ekonomi), hampir seluruh peserta didik memilih calon pasangan hidup yang sudah mapan. Pertanyaan dilanjutkan, apakah pasangan hidup yang akan dipilih yang siap berbahagia dan siap juga untuk hidup menderita? Sebagian besar menjawab akan memilih calon pasangan hidup yang siap berbahagia. “Mau menderita kok ngajak-ngajak, emoh,” celetuk salah seorang peserta didik.

Narasi ini sepintas hanya canda gurau saja. Tetapi, inilah potret di mana frame peserta didik sudah mulai mengarah ke arah pragmatisme. Suatu postulat yang lebih mengutamakan hasil daripada proses. Kenyataan ini mengubah konstruk peradaban, di mana manusia memulai dirinya yang tidak percaya kepada dirinya sendiri dengan prasyarat ilmu. Padahal, ilmu adalah pintu masuk yang bisa mejadikan atau tidak menjadikan manusia dalam mencapai yang diinginkannya.

Dalam risalah kenabian Sulaiman, saat ditanya, apakah akan memilih keilmuan, kekayaan, atau kedudukan? Sulaiman memilih satu dari tiga opsi yang dipilihkan. Dus, dengan memilih ilmu, kekayaan dan kedudukan nempel pada Sulaiman. Ia berilmu, bertahta, dan berharta. Ia juga tampil sebagai orang yang memiliki ilmu dan pada saat yang nyaris bersamaan, Sulaiman menjadi raja nan kaya raya.

Nah, nafas yang tidak mengedepankan ilmu sebagai prasyarat utama dalam kehidupan, siapakah tokoh yang dijadikan sandaran? Memang, ada cerita Ken Arok (Sri Ranggah Rajasa), lelaki tegap yang ambisi menjadi raja.

Proses meimba ilmu (ngelmu) menjadi raja di Tumapel (Singasari Malang), tidak dipelajari secara tuntas sebagai suatu proses belajar mengajar untuk menjadi raja yang baik dan diterima publik. Jalan pintas pun ditempuh dan Ken Arok membunuh Raja Tunggul Ametung di Tumapel.

Tidak sampai di situ, ia juga mengambil Ken Dedes (istri Tunggul Ametung) sebagai permaisuri pasca penikaman terhadap Tunggul Ametung dengan menggunakan keris karya Mpu Gandring. Tetapi, dramaturgi Ken Arok tidak bertahan lama. Ia juga terbunuh oleh anak tirinya, Anusapati (anak dari pasangan Ken Dedes dan Tunggul Ametung). Sejak itulah, kisah Ken Arok yang tumbuh secara karbitan di istana, tamat. Walaupun sebelumnya, cerita Ken Arok cukup hebat karena tidak saja membunuh Tunggul Ametung, tetapi juga menghajar Raja Kediri, Prabu Kertajaya.

Kisah Ken Arok, setidaknya dapat menjadi inspirasi dalam konteks pembelajaran, bahwa sesuatu yang muncul dan diraih secara tiba-tiba, biasanya tidak bertahan lama. Begitu juga halnya cinta. Jika cinta hanya datang dari tatapan mata, maka cerita selanjutnya bisa ditebak, sementara untuk kemudian binasa.

Hal yang sama terjadi dalam kegiatan belajar. Apabila peserta didik berniat belajar hanya karena ujian, maka setelah ujian berlalu, ilmu yang nempel di kepala dengan sebegitu cepat binasa, ambyar. Namun apabila cinta besumber dari hati, ia akan sampai ke hati. Menimba ilmu demikian adanya, sebelum dan setelah ujian, ilmu yang didapat masih lekat, rekat dan dekap di memori. Ini terjadi karena adanya proses dan kesadaran dalam menimba ilmu yang bersandar pada niat dan perbuatan.

Kesadaran dan proses “menjadi” inilah yang di jaman kontemporer mulai redup. Mindset kerja ringan hasil berat sudah menjadi candu. Banyak orang yang melupakan individual power dan memberhalakan “orang dalam”. Pandemi “orang dalam” inilah kemudian mengerdilkan semangat para subyek pembelajaran untuk berproses menuju yang diinginkannya. Padahal, disadari atau tidak, “berhala orang dalam” ini menjadi penyakit akut yang dapat menjangkiti dan menjangkaui generasi. Penerus bangsa menjadi pemalas pada satu sisi sebab tidak percaya diri, dan menjadi pemalu pada sisi yang lain lantaran tidak memiliki kompetensi yang matang tanpa karbit.

Itulah sebabnya, narasi ini bermaksud mengembalikan kesadaran terhadap tradisi ngelmu (mencari ilmu) yang didapat karena proses, bukan ilmu yang diperoleh karena proyek. Sekedar menyebut contoh, pada saat pencalonan presiden beberapa waktu yang lalu, terjadi pemaksaan konstitusi yang mengabaikan proses untuk menjadi. Saat regulasi menyebut bahwa setidaknya seorang calon kepala atau wakil kepala negara berusia 40 tahun, kemudian “karena proyek”, tiba-tiba seseorang yang tidak sampai pada usia itu, menjadi lolos sebagai calon. Ini karena mahkamah (konstitusi) menambahi narasi regulasi asal pernah menjadi kepala daerah. Kasus ini, jelas karena melibatkan orang dalam, dan tentu saja abai dari kesadaran untuk “menjadi” yang berbasis proses dan tidak mendidik.

Ruang kesadaran dalam pemaksaan atmosfer “ngelmu” dan proses lenyap (dilenyapkan) justru oleh pihak yang seharusnya memiliki kesadaran untuk mengembalakannya. Diktum petitum soal tumbuh kesadaran dan kesadaran tumbuh, merupakan dua hal yang berbeda. Pertama, tumbuh kesadaran memberi kesan dari tidak adanya tumbuh menjadi tumbuh (kesadaran). Kedua, kesadaran yang mengembang untuk sesuatu yang harus dimengerti, untuk ditindaklanjuti.

Negara sebagaimana halnya lembaga (dalam pendidikan), memiliki kekhasan untuk kebersamaan. Lembaga menjadi paradoks manakala ia hanya ada untuk segelintir atau sekelompok orang dalam gangster di institusi itu. Begitu juga pendidikan, usaha bersama (untuk mencerdaskan) dari para pihak untuk para pihak itu sendiri dalam lingkar lembaga dan luar institusi.

Kesaksian pendidikan memberi kesan hanya transfering ilmu pengetahuan tanpa kesadaran tumbuh bahwa dengan ilmu, siapa saja dapat meraih apa saja yng diinginkannya dengan satu syarat; kompeten-profesional. Sebagian (besar) public mutakhir, memberi asumsi kepada publik bahwa pendidikan seolah-olah bertujuan “memperbaiki nasib”. Interpretasi ini menggelindingkan efek domino yang mengakibatkan orangtua “kecewa” karena putra-putrinya dinilai “gagal” dalam berkarir walau sudah bergelar sarjana.

Ngelmu, sejatinya tidak pada wilayah memperbaiki nasib dan tidak menuntut seseorang serba bisa. Ngelmu hanya sejenis jeda yang membuat kesadaran tumbuh pada individu untuk memahami hidup yang harus dihadapi seseorang yang melengkapi dirinya ilmu. Institusi pendidikan juga bukan wahana fabrikasi yang mencetak seseorang menjadi sesuatu yang diharapkan.

Karena itu, apatisme publik terhadap pendidikan mesti dilawan dengan kesadaran yang tumbuh untuk memunculkan budaya tanding. Skeptesisme publik yang belakangan memberhalakan harta dan tahta, perlahan mesti didekonstruksi melalui reformulasi perspektif.

Harus diakui, publik pasca reformasi semakin mendapatkan tontonan kemahakuasaan kuang yang multidimensional. Para pengambil kebijakan pun, mentonilkan sektarianisme-material yang dianggap bisa menyelesaikan banyak hal terutama hukum dan kekuasaan.

Salah satu negara yang memiliki kemajuan dalam pendidikan, antara lain New Zealand. Di negeri ini, keamanan terjamin, alam indah, masyarakatnya ramah, dan hampir semua lembaga Pendidikan di negeri ini unggul. Selain itu, negara turun tangan secara langsung dalam monitoring langgam pendidikan, berorientasi ke masa depan, dan negara menjamin lapangan pekerjaan bagi SDM yang kompeten dan berkualitas. Dilihat dari aspek kemajuan di berbagai sektor negeri ini, pendidikan dijadikan panglima dan itu sebabnya, kompetisi dan persaingan di berbagai sektor disandarkan pada kualifikasi SDM.

Di republik tercinta, masyarakat terbelah pemahaman. Sebagian (kecil) menyadari pendidikan dan kualifikasi SDM yang memadai, bisa mengantarkan ke gerbang cita-citanya. Sebagian (besar) lainnya, kualifikasi SDM tidak menjamin tercapainya cita-cita, kecuali memiliki buah tangan dan sentuhan tangan (orang dalam). Maka, tidak heran diskursus yang berkembang di dalam masyarakat, uang selalu diperbincangkan dari awal.

Misalnya, terdengar diskusi brapa banyak uang yang harus didiapkan untuk kuliah di kedokteran, kepolisian, ketentaraan dan lainnya. Akibatnya, Pendidikan dalam perspektif awam publik, pendidikan di tanah tercinta memberi kesan horor di sektor netto dan pembiayaan.
Oleh karena netto dan pembiayaan ini berada di garda depan, publik merasakan pendidikan nyaris tidak punya ruh. Raibnya spiritualitas dan herositas pendidikan dengan situasi keuangan yang mahautama tadi, publik memigrasi kesadaran tumbuhnya menuju investasi.

Angkernya biaya pendidikan disandingkan dengan modal usaha. Mereka mengalihkan biaya pendidikan yang tinggi yang juga tidak menjamin mewujudkan cita-cita, ke suatu badan usaha sebentuk “Warung Madura”. Mereka juga mengandaikan biaya pendidikan dengan pendapatan dari usaha, sampai kemudian berkesimpulan bahwa pendidikan tidak (begitu) penting dengan menganggap uanglah yang urgen.

Skriptum-pragmaticum yang terbiarkan dan berkembang biak pesat inilah, lambat laun dapat menyebabkan masyarakat tidak terdidik, tidak tercerahkan dan akan memandang persoalan senantiasa dari perspektif ekonomi; uang dan keuntungan finansial. Sementara khazanah keilmuan kesepian dan terabaikan. Maka, sudah bisa dibayangkan apabila realitas kehidupan selalu diukur dengan barometer keuntungan uang dan finansial, yang rapuh tidak hanya kesadaran tetapi juga tatanan dalam keluarga, sosial, kekerabatan, bahkan teritori yang lebih besar; negara. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *