KABARMADURA.ID | SAMPANG-Rencana penarikan pajak terhadap pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Monumen Sampang menuai banyak penolakan, terutama dari para pedagang di kawasan tersebut. Padahal, diketahui rencana itu sudah memasuki pada tahapan penggodokan rancangan peraturan daerah (raperda).
Salah seorang penjual nasi goreng yang mangkal kawasan di Monumen Sampang, Abd. Rohman, mengaku keberatan apabila rencana penarikan pajak pada PKL itu benar-benar terealisasi.
“Saya tidak setuju kalau ditarik pajak, karena dari dulu kami yang berjualan di sini (Monumen Sampang) tidak ditarik pajak, hanya uang kebersihan dan listrik,” ujarnya kepada Kabar Madura, Minggu (24/9/2023).
Rohman menjelaskan, jika dipaksakan ditarik pajak, maka kemungkinan besar pengunjung akan berkurang. Sebab, para pedagang harus menaikkan harga jualannya.
“Kalau kami ditarik pajak, otomatis kami harus menaikkan harga yang kami jual,” tegasnya.
Sementara Komisi II DPRD Sampang Agus Husnul Yakin menyatakan, penarikan pajak di kawasan PKL Monumen Sampang ini sama dengan pemberlakuan pajak yang dilakukan pada rumah makan dan restoran. Pajak yang akan ditarik sebey 10 persen dari pendapatan.
“Artinya, pajak itu menjadi beban pembeli,” jelasnya.
Dia mengaku, pihaknya juga pernah menyampaikan kepada Badan Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) terkait rencana tersebut untuk dikaji kembali. Hal itu disampaikan ketika pembahasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) perubahan.
“Kita juga harus lihat dari omzet para pedagang yang berjualan di kawasan PKL Monumen Sampang itu,” imbuhnya.
“Semisal setiap malamnya para pedagang itu laku 20 porsi nasi goreng, maka 10 persennya harus masuk kas daerah. Besarnya tergantung seberapa banyak pendapatannya,” tukas Agus.
Pewarta: KM70
Redaktur: Sule Sulaiman