KABARMADURA.ID | SAMPANG-Forum Mahasiswa Sampang (FORMASA) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan di Sampang semakin meningkat. Padahal, Sampang telah menyandang predikat sebagai Kabupaten Layak Anak (KLA) sejak 2022 lalu.
Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah kabupaten (pemkab), DPRD, dan aparat penegak hukum (APH) setempat dalam menangani kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun FORMASA, pada 2020 di Sampang, terdapat tujuh kasus persetubuhan dan enam kasus pencabulan. Pada 2021 mengalami peningkatan, ada 12 persetubuhan dan enam kasus pencabulan.
Sementara, pada tahun 2022, tercatat ada 13 kasus persetubuhan dan 6 kasus pencabulan. Sedangkan pada tahun ini, baru ada satu kasus pencabulan.
“Setiap tahun kasus kekerasan seksual dan pencabulan ini terus meningkat. Hal itu diyakini karena pemkab dan APH serta DPRD Sampang kurang serius,” ungkap Zahratul Laili, salah satu orator perempuan dari FORMASA saat menggelar demonstrasi di depan gedung DPRD Sampang pada Senin (22/5/2023) lalu. .
Laili juga membeberkan, hingga kini belum ada wakil rakyat melalui kelembagaannya mengambil sikap untuk membela masyarakat yang menjadi korban pelecehan seksual tersebut.
Dia juga menceritakan tentang nasih tragis korban kekerasan yang masih berusia 13 tahun. Korban ini dirudapaksa oleh 9 orang lelaki. Sayangnya, beberapa pelakunya masih berkeliaran sampai saat ini. Bahkan salah satu dari tiga pelaku yang sudah diamankan malah dibebaskan dari penjara dalam kurun waktu kurang dari satu tahun.
Lanjut Zahratul Laili, kasus kekerasan seksual bukan hanya terjadi di lingkungan masyarakat, melainkan juga pernah terjadi di Rumah Perlindungan Sosial (RPS), yang masih di penguasaan Dinas Sosial Sampang. Korbannya yaitu seorang wanita dengan status orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Meningkatnya kasus kekerasan seksual ini karena tindakan dari APH sangat lemah, salah satu contohnya dalam pemerkosaan bergilir di Kecamatan Robatal hanya tiga orang pelaku yang ditangkap adapun sisanya masih DPO padahal kasus ini sudah satu tahun lamanya,” bebernya.
Sementara itu, anggota DPRD Sampang Dedi Dores menanggapi tuntutan massa aksi terkait soal kasus kekerasan seksual itu. Dedi mengatakan, kasus kekerasan itu tidak hanya DPRD saja yang mengecamnya, melainkan seluruh masyarakat. Karena hal itu merupakan perbuatan tercela baik secara agama, sosial dan kepatutan secara hukum.
“Kami meminta Polres Sampang untuk menindak tegas yang berhubungan dengan kekerasan seksual dan kejahatan lainnya yang sudah diatur dalam undang-undang ini,” singkatnya.
Menanggapi hal tersebut, Kasi Humas polres Sampang Ipda Sujianto tidak menampik bahwa kasus pemerkosaan bergilir yang terjadi di awal tahun 2022 itu belum tuntas. Polisi masih memburu keberadaan sisa dari enam pelaku yang berstatus DPO tersebut.
“Mengenai satu pelaku yang bebas itu bukan dibebaskan tapi sudah selesai menjalani putusan pengadilan yang divonis satu tahun, kami masih terus memburu DPO-nya,” timpalnya
Pewarta: Subhan
Redaktur: Wawan A. Husna