Oleh Alim Witjaksono*
Saya masih ingat ketika empat orang sastrawan membaca puisi dan cerpen hasil gubahannya beberapa waktu lalu di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Sebagai sastrawan muda, saya turut ambil bagian membacakan cerpen yang pernah saya sumbangkan untuk media daring. Tampaknya karya saya kurang mendapat apresiasi dari keempat sastrawan tersebut, yang konon sudah profesional dan memiliki banyak jam terbang.
Menghadapi sastrawan senior, kadang saya merasa gerogi dan canggung, hingga kurang fokus membacakan cerpen maupun puisi hasil gubahan saya sendiri. Saat itu, masih terngiang dalam benak saya, dialog-dialog pada cerpen yang dibawakan sastrawan ketiga, khususnya ketika narasi menampilkan sosok Ayah yang memberi peringatan kepada anaknya, agar jangan memukuli anak-anak kucing yang memasuki rumah keluarga mereka. “Sesungguhnya, tipis sekali batas-batas antara menyakiti binatang dengan menyakiti umat manusia,” tegas sang Ayah.
Cerpen yang ditulis oleh generasi milenial itu, menampilkan narasi-narasi yang kuat hingga sastrawan senior itu berjibaku untuk membacakannya kepada publik. Pada dialog berikutnya sang Ayah menerangkan bahwa, tindakan membunuh kucing dengan membunuh manusia, betatapun tipisnya garis itu, manusia tidak boleh melintasinya.
Saya semakin merasakan adanya pikiran semacam itu, khususnya setelah membaca novel Pikiran Orang Indonesia (POI). Tetapi, dari banyaknya karya sastra yang telah saya baca, baik dalam dan luar negeri, terkadang para sastrawan tak mampu menahan diri untuk tidak melintasi batasan dan garis tipis itu. Mereka juga tak memberi solusi apapun bagi pembaca untuk membangun benteng pertahanan diri, agar tidak menembus batas-batas itu.
Bagi mereka, memang seperti itulah dunia ini bekerja, sebagaimana adanya. Sastrawan hanya hadir di tengah kita, lalu berkata-kata tentang apa yang menurutnya pantas dikatakan, tanpa tedeng aling-aling. Seakan garis tipis yang memisahkan baik dan buruk itu selayaknya diungkap sebagai kebebasan berekspresi. Mereka merasa tak perlu untuk mengekang diri, atau memberikan solusi untuk melawan dan menghindarinya.
Segala aspek yang berkaitan dengan identitas sastra Indonesia, memang dirasakan ada pengecualian jika kita membaca secara fokus karya-karya seorang warga kelahiran Banten Hafis Azhari, khususnya melalui cerpen dan novel-novelnya, baik Perasaan Orang Banten, Pikiran Orang Indonesia maupun Jenderal Tua dan Kucing Belang. Meskipun sang penulis pernah melintasi garis-garis tipis sebagai batasan putih dan hitam, nampaknya terkandung wasiat atau pesan-pesan moral yang universal – sebagaimana nabi, santo maupun kaum sufi – agar jangan menerabas garis-garis sakral yang membahayakan itu.
Karya-karya sastranya, baik berupa novel maupun cerpen (saya kurang tahu persis tentang puisinya), meskipun sang penulis menarasikan tokoh selaku “sang pendosa”, namun ia memberi batasan tentang mana hal-hal yang mesti dihindari lantaran menyengsarakan hidup di kemudian hari. Di sisi lain, novelis seperti Eka Kurniawan seakan menampik, bahwa kita sebagai penulis tak lain sebagai pendosa-pendosa abadi yang memiliki kesadaran lebih tajam, dan memiliki kosa kata yang lebih tepat untuk menuangkan dan menjelaskan realitas dunia yang kacau-balau ini.
Untuk itu, jika memakai logika Eka Kurniawan, Putu Wijaya, A.S. Laksana hingga Goenawan Mohamad (yang senior), seakan mereka bersenandung sama: “Justru penulis itu lebih dulu melakukan maksiat dan keburukan, sebelum keburukan itu bisa dilakukan para pembacanya. Karena itu, jika pembaca lebih pintar dan lihai dari penulisnya dalam soal itu di kemudian hari, memang seperti itulah sasaran yang diharapkan oleh para penulis.”
Dalam logika Hafis Azhari yang tertuang dalam karya-karyanya, membangun imej dan mindset seperti itu dianggap rawan dan membahayakan bagi perjalanan budaya dan peradaban. Jika pun karya sastra tidak menciptakan perasaan dan pemikiran tunggal, tetap harus dibangun moral massage agar menggiring dan mengarahkan pembaca di jalan kebaikan, toleransi dan kemaslahatan.
Dalam konteks pemerintahan yang tidak adil dan sewenang-wenang, karya sastra harus tampil menyuarakan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Demikian yang disuarakan novel POI, hingga sebagian pembaca yang terburu-buru menyimpulkan suatu pesan, seolah moral sang penulis tidak lebih baik dari para pembacanya. Bagaimana mungkin sosok protagonis seperti Haris dan Arif sedemikian parah terjebak dalam dekadensi moral, hingga aksi pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri dianggap “tugas suci” yang diwartakan oleh negara? Coba bandingkan fenomena itu dengan sosok Eliezer yang semata-mata memutuskan pembunuhan lantaran perintah atasan, yang korbannya justru sahabat karibnya sendiri (Yosua).
Dalam perspektif lain, jika seorang sastrawan bukan seorang pendosa di masa lalunya, niscaya ia akan berperasaan sehalus dan selembut malaikat, hingga menciptakan jurang pemisah yang sangat besar, sampai kemudian sulit untuk menempatkan dirinya dalam relung dan imajinasi pembacanya. Akan tetapi, karena sang penulis tercipta sebagai wujud manusia, bahkan manusia yang lebih hina dan berdosa ketimbang pembacanya, maka ia adalah orang yang “lebih” dari siapapun juga. Dia dapat berbagi dengan kita semua, menyampaikan segala hal yang terlintas dan tersimpan dalam benak dan memorinya. Bahkan, tentang perilakunya yang secara esensial diselubungi lumpur dan lembah dosa, meski dalam format dan corak yang berbeda.
Kita pun bisa mafhum, bahkan moral para nabi pun kadang terjebak dalam ketersesatan, yang kemudian Tuhan mengangkatnya dengan hidayah dan petunjuk. Dalam surah al-Dluha (ayat 7), Tuhan memperingatkan kepada rasul-Nya (Muhammad): “Bukankah kamu pernah tersesat lalu Kami memberimu petunjuk?” Nabi Yunus bahkan terlempar di tengah lautan lepas di kegelapan malam. Penderitaan semakin menjadi-jadi ketika tubuhnya dilahap ikan paus hingga mendekam selama berhari-hari di dalam lambung ikan. Di tengah penderitaan yang mencekam itu, ia pun berdoa: “Tiada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku ini termasuk orang yang lalai.”
Secara inderawi, memang para sastrawan tak mampu menyembuhkan si sakit, atau membawa jamaahnya pada tanah yang dijanjikan (darussalam), namun dengan solusi yang ditawarkan, serta moral massage yang baik, ia akan membawa pembaca pada kedamaian dan ketentraman jiwa. Bagi sebagian sastrawan, hal ini dianggap utopis atau impian yang terlampau ideal dan melambung tinggi. Namun secara religius, Hafis Azhari pernah menegaskan dalam acara bedah bukunya di pesantren Al-Bayan (kompas.id, 14 November 2021), bahwa Tuhan akan menempatkan diri dalam prasangka baik dari hamba-hamba-Nya.
Logika sebaliknya, jika karya sastra lebih bertumpu pada pesan-pesan absurditas (chaos), maka narasi-narasi para tokoh dan alam lingkungannya hanya berlaku bagi situasi kondisi yang serba kebetulan belaka. Bahkan, para cebong kampret, cacing-cacing dan binatang melata di kedalaman bumi hanya akan sibuk mengurus dirinya sendiri, tanpa peran dan campur-tangan Tuhan. Bahkan, tanpa perlu adanya tanggung jawab moral yang disuarakan sastrawan maupun para nabi dan rasul.
Sejak saya mulai mengirimkan tulisan ke media-media ternama di republik ini, saya memiliki semacam firasat akan kebenaran itu. Diperkuat oleh fakta di lapangan, saat saya membacakan cerpen di hadapan para sastrawan “terkemuka”, seakan saya berhadapan dengan garuda-garuda raksasa dengan moncong paruhnya yang tajam. Sehingga, para penulis muda milenial yang memiliki ketajaman nalar dan pikiran, akan takluk di hadapan banalitas dan ketajaman sorotan mata mereka.
Untuk Anda yang coba-coba ingin menjadi penulis muda, tanpa adanya apresiasi dan dukungan dari mereka yang senior itu, apalagi yang hanya menulis setelah jam-jam kerja, diselimuti oleh ketidakyakinan apakah Anda orang berbakat, jangan coba-coba berhadapan dengan garuda-garuda itu. Para penulis status quo yang berjiwa konservatif itu, akan sulit mufakat dengan adanya kekuatan yang cenderung menembus batas dan melawan arus.
Mereka takkan membiarkan Anda keluar dari barisan yang sudah dianggap top dan suci oleh kelompok mereka. Dengan standar pemikiran dan sudut pandang mereka, yang dianggap cukup untuk menyenangkan para agen dan penerbitnya. Untuk itu, mereka takkan membiarkan Anda merasa senang dan bahagia dalam berkarya, kecuali Anda harus menuruti apa-apa yang menjadi target pasaran mereka.
Jika Anda coba-coba menciptakan arus kekuatan baru, sehebat apapun, Anda akan terbentur pada garis pembatas yang mereka ada-adakan selama ini, yakni garis antara penerimaan dan penolakan, apresiasi dan caci-maki, bahkan garis yang seakan dapat menentukan, apakah Anda akan sukses ataukah gagal.
Jika Anda punya keberanian, Anda harus segera membongkar segala dusta dan kepura-puraan mereka selama ini. Anda harus segera meruntuhkan tembok-tembok pembatas yang sakral itu. Tanpa harus menunggu sang waktu yang akan menyelesaikan batas-batas kepunahan, serta menenggelamkan mereka dari percaturan sejarah.
*) Peneliti dan penikmat sastra milenial Indonesia, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional luring dan daring