Oleh Muakhor Zakaria *)
“Orang yang rasa takutnya ditujukan pada Tuhan, ia tidak akan mengalami ketakutan pada setiap makhluk ciptaan-Nya. Kalau Anda takut pada PKI, berarti kualitas keimanan Anda sangat rendah, dan akan terus-menerus jadi bulan-bulanan penguasa yang menjadikan frase PKI sebagai komoditas politik semata.” (Abdurrahman Wahid)
Ada sebuah adagium bahwa karya sastra yang baik takkan tergoyahkan karena telah menciptakan benteng pengamannya sendiri. Usaha manusia untuk menangkap moral massage dari suatu karya sastra, diperlukan pengetahuan yang memadai tentang segala sesuatu. Pemahaman yang meyakinkan akan mudah diserap melalui perantaraan panca indera serta pengetahuan yang mendasar dari akal pikiran. Bahkan, diperlukan wawasan yang lintas aliran dan paham keagamaan, juga seringkali dijumpai aspirasi pemikiran yang seakan saling bertentangan.
Untuk mendalami karya-karya yang ditulis Hafis Azhari, baik dalam bentuk cerpen, novel maupun esai-esai yang bertebaran di ranah luring maupun daring, kadang diperlukan kecakapan intelektual yang mumpuni. Bahkan, tidak jarang dibutuhkan wawasan sufistik atau tasawuf yang memadai. Kita melihat para tokoh yang ditampilkan dalam novel Perasaan Orang Banten. Sebagian mereka hanya mungkin dipahami oleh kemampuan literasi yang lintas mazhab, aliran keagamaan, bahkan lintas etnis, suku dan kewarganegaraan. Dibutuhkan kepekaan dan kepedulian untuk memaknai hakikat kebenaran, agar dapat berpikir merdeka, tidak lagi terkungkung oleh sekat-sekat primordialisme yang membelenggu nalar dan akal sehat.
Kadang kita ditantang untuk memaknai kebenaran, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya kebenaran lain yang justru lebih valid dan akurat. Untuk itu, pemahaman akan kebenaran senantiasa membawa kita mengatas indera dan melanglang buana. Kemudian, sampailah pemahaman akan kualitas kebenaran yang lebih luhur, hingga mampu memisahkannya dari kebatilan dan kesalahan. Melalui novelnya Pikiran Orang Indonbesia, dengan tegas ia mengguratkan garis pemisah, mana yang disebut ketaatan yang menyesatkan, ketimbang figur yang serius mencari identitas diri yang membawa pencerahan. Kiranya tidak berlebihan jika kita menggolongkan karyanya lahir dari kedalaman filsafat Islam, suatu disiplin ilmu yang pernah digelutinya selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada jurusan teologi dan filsafat.
Di sisi lain, dimensi spiritual yang ditelaahnya, nampak pada tokoh-tokoh religius yang terus berproses menuju jalan kesufian, tetapi sekaligus mampu menemukan penyimpangan (anomali) dalam tata kehidupan bermasyarakat, tanpa harus menyebutnya liberalis maupun kapitalis. Kadang kita juga temukan tokoh yang menjalani hidup di luar nalar dan akal sehat. Hanya menuruti aturan main dari sistem yang diciptakan manusia, berani melakukan tindakan atas nama kesucian agama dan negara, namun akhirnya ia menyadari dirinya terjerembab dalam ketaatan buta yang membawa malapetaka.
Pada semua tokoh itu, Hafis tidak mengidentikkannya kepada nasib hidup yang serba absurd, karena kelak akan ditemukan benang-merah sebab dan akibat yang bisa ditelusuri, sampai kemudian dijumpai esensinya pada bab-bab selanjutnya. Dengan demikian, maka hilanglah segala keraguan, karena pembaca dihadapkan pada solusi dan jawaban akan rasa ingin tahu yang menyelimuti dirinya.
Tidak jarang ditemukan tokoh yang mengalami resesi seks, krisis identitas, kebimbangan dan kekacauan yang mengganggu fisik dan psikisnya. Namun, kekuatan iman dapat membuatnya bertahan, karena wilayah rasionalnya bertumpu pada keyakinan yang bersifat intuitif.
Berkaitan dengan proses kreatifnya selaku penulis, Hafis Azhari mengkaji segala sesuatu secara mendalam, tidak hitam-putih, lalu menuangkannya ke dalam narasi tokoh-tokohnya. Secara intelektual, pembaca akan mudah menebak bahwa ia gandrung pada pemikiran teologi dan filsafat, baik barat maupun timur. Seakan ia telah mempersiapkan amunisi melalui beragam argumen sebagai dasar keilmuan dan akidah yang digelutinya. Kalaupun ada satu-dua penulis dan intelektual muda yang komplain, cukuplah dia membalasnya dengan senyum-senyum dikulum.
Dalam cerpen “Merobohkan Museum Lubang Buaya”, sentakan-sentakan karyanya seakan menantang nyali dan keberanian pihak pemerintah agar mengamalkan program “mencerdaskan” kehidupan bangsa. Di akhir pemerintahan Jokowi sebagai etnis Jawa, mampukah ia mengadakan bersih-bersih untuk menyapu sampah museum yang tidak ilmiah, tidak kredibel, juga tak bisa diandalkan untuk mengedukasi masyarakat bangsa.
Jangan sampai pemerintah hanya sibuk berkutat di wilayah argumen untuk mengcounter lawan-lawan politiknya. Padahal, tidak jarang para rival politik itu mendasarkan diri pada pemikiran yang dipengaruhi oleh faktor eksternal, dan lebih membawa mafsadah ketimbang manfaat bagi kepentingan umat.
Tapi seumumnya tokoh yang muncul, tak lepas dari keluguan dan kepolosan masyarakat awam yang hidup dengan alam bawah sadarnya. Dalam Perasaan Orang Banten, kita temukan masyarakat beragama yang hanya mengandalkan dirinya pada taklid buta. Bahkan, tokoh sekelas Kiai Muhaimin sebagai penasehat kampung Jombang, juga tak mampu melakukan perdebatan secara teologis. Ia hanya mampu mengekang masyarakat hiper modern, dari kecenderungan pada perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya maupun orang lain.
Memang secara implisit karya-karya Hafis seakan mengakui pentingnya argumen-argumen rasional, yang dinilainya sebagai obat mujarab dari penyakit yang selama ini diderita masyarakat. Dalam cerpen “Pelajar dari Banten”, pembaca seakan ditantang untuk berdebat, agar dapat memetik hikmah darinya. Namun, tentu saja dalam endingnya terkandung moral massage agar kita bersikap rendah-hati terhadap sesama. Karena sepintar-pintarnya manusia, toh hakikat ilmunya hanyalah setetes air di tengah lautan samudera yang maha luas.
Sebagai putera kelahiran Banten, kehidupan Hafis seakan telah tergenangi oleh corak masyarakat wilayahnya yang cenderung temperamental, angkuh dan sombong, namun ia telah menawarkan solusi terbaik bagi kepentingan masyarakat agar berkaca dan bercermin diri.
Ada motif tersendiri yang lebih luhur telah disuarakan melalui karya-karya novelnya, terutama soal penegakan ajaran monoteisme (tauhid). Hal ini telah mengibas segala kepalsuan takhayul dan khurafat yang seringkali merecoki jalan kemajuan bagi peradaban bangsa. Suku dan etnis terbesar di Indonesia (Jawa dan Sunda) sangat dominan, seakan telah menjadi proyek tersendiri untuk penggarapan karya-karya prosanya.
Akidah Islam dan segala penyimpangannya telah dipersoalkan melalui pertanyaan eksistensial, agar masyarakat bangkit dari taklid buta yang selama ini membelenggu daya nalar dan akal sehat manusia Indonesia.
Konsep monoteisme yang kental pada goresan penanya, diakuinya banyak ditimba dari ceramah-ceramah Abdullah Gymnastiar, pengasuh pesantren Darut Tauhid, Bandung. Tidak hanya mendengar ceramahnya, beberapa waktu lalu Hafis juga pernah mengundang Aa Gym langsung untuk deklarasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa) di kampus Universitras Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) provinsi Banten.
Pada prinsipnya, memang sangat jarang kita temukan karya sastra yang berani secara lantang menyuarakan penyebab dari kedangkalan berpikir, yang membuat masyarakat sangat terpengaruh oleh berhala-berhala psikologis. Kiranya tepat apa yang dinyatakan oleh para sastrawan milenial akhir-akhir ini, bahwa teror imajinasi yang dilancarkan rezim militer Orde Baru selama lebih dari tiga dekade, sangat memengaruhi kerangka berpikir masyarakat yang terkungkung dalam perspektif tunggal semata.
Untuk itu, melalui goresan penanya, Hafis Azhari bukan saja menyoal secara reflektif tetapi sekaligus menawarkan obat mujarab bagi penyembuhannya. ***
*Muakhor Zakaria, dosen perguruan tinggi La Tansa Mashiro, Rangkasbitung, Banten Selatan. Menulis esai dan prosa di berbagai media nasional, luring dan daring.