Sejarah Freemason dan Kebebasan Berpikir

News90 views

Oleh SUPADILAH ISKANDAR *

Tiga komposer dunia sepanjang masa, yakni Mozart, Beethoven dan Sebastian Bach, disinyalir sebagai anggota-anggota Freemason, yang perkembangannya di Indonesia dikenal sebagai Tarekat Mason Bebas. Bahkan, akhir-akhir ini muncul isu dan rumor bahwa tokoh pembaharuan Islam Indonesia seperti Gus Dur, Cak Nur, Harun Nasution, hingga Ulil Abshar Abdalla, terkait juga dengan gerakan Freemason atau antek Zionisme yang dianggap berbahaya. Lalu, apa yang melatarbelakangi tuduhan semacam itu? Apa pula yang mendasari pemikiran, bahwa gerakan Freemasonry identik dengan Zionisme Yahudi?

Memang, sebuah teori konspirasi, dalam sejarahnya selalu menjadi sistem yang tertutup dan sulit diverifikasi. Meski pengaruhnya sedemikian masif hingga menyusup ke relung imajinasi jutaan manusia Indonesia, tak terkecuali kalangan ilmuwan dan intelektual sekalipun. Bahkan, tidak sedikit tokoh-tokoh agama yang terimbas teori konspirasi, hingga pada gilirannya akan mudah menjadi pengabdi-pengabdi yang setia di bawah pengaruh kekuasaan harta dan ilmu yang bersifat empiris dan duniawi belaka.

Akibat teori konspirasi, jutaan orang bisa menjadi korban pembantaian dan genosida yang terpicu oleh kebencian rasial, bahkan intoleransi antar penganut agama. Banyak orang yang akhirnya menjadi pencinta dan pembenci yang fanatik, hingga kehilangan nalar dan akal sehatnya. Tidak jarang teori konspirasi dipropagandakan oleh bangsa yang kualitas SDM-nya bagus, bahkan kadar IQ-nya cukup tinggi, semisal bangsa Jerman, Jepang, Romawi, Persia, hingga Israel.

Seringkali orang Indonesia melestarikan kepercayaan, bahwa teori konspirasi selalu identik dengan Yahudi, seolah kaum Yahudi-lah satu-satunya bangsa yang unggul di dunia, hingga memosisikan mereka sebagai umat pilihan Tuhan. Padahal, Islam melalui teladan Rasulullah mengajarkan bahwa setiap bangsa dapat berdiri sejajar, juga berhak memiliki martabat dan derajat yang tinggi, terutama jika mereka berprestasi secara keilmuan, bahkan memiliki keunggulan dalam kualitas ketakwaannya.

Sastrawan Italia, Umberto Eco, dalam novelnya yang bebasis data-data sejarah Eropa, “Prague Cemetery” (Pemakaman Praha) mengungkap bahwa protokol sesepuh Yahudi yang ditulis dan disebarkan pada 1850-an tak lain merupakan kabar burung yang dibikin-bikin oleh dinas rahasia Italia dan Prancis, dengan tujuan menyebarkan kebencian terhadap kaum Yahudi. Teori konspirasi Yahudi selalu dikaitkan dengan revolusi Prancis, Aufklaerung Jerman, dan kelompok rahasia kaum iluminasi Bavaria.

Baca Juga:  Cerita Siswa MTsN 1 Sumenep Vinsa Nur Hidayatullah Raih Prestasi Nasional

Dalam hal ini, banyak cendekiawan dan penulis muslim Indonesia, hendaknya berhati-hati dalam menyimpulkan hasil riset dan penelitian ilmiah, apalagi jika penelitian itu berbasiskan data-data kepustakaan. Sebab, tidak jarang teori konspirasi yang berhubungan dengan zaman renaissance, aufklaerung hingga revolusi Prancis, selalu bertujuan untuk menghantam nilai-nilai pokok Gereja Katolik, yang terbilang ortodoks dan konservatif.

Ada persoalan prinsipil yang berkaitan dengan perbedaan latarbelakang sejarah. Freemasonry dan iluminasi Bavaria memiliki rentang waktu sejak berabad-abad silam di Eropa, sementara konspirasi Zionisme bermula sejak berdirinya nation state, serta agenda besar kaum Zionis untuk mendirikan negeri Israel di tanah bangsa Filistin (Palestina), yang dipercaya sebagai “tanah yang dijanjikan Tuhan”.

Freemason di Indonesia

Apakah filosof dan pemikir bebas seperti Rocky Gerung adalah seorang penganut Freemasonry? Tentu akan sulit dilacak mengenai identitas keanggotaannya. Bahkan, sekitar 200 penganut Yahudi di wilayah Jakarta dan sekitarnya, juga terdaftar dengan identitas “Islam” sebagai agama yang tercantum dalam KTP mereka.

Ini pengakuan langsung dari seorang penganut sekaligus keturunan Yahudi Diaspora, Ezra Abraham, yang diwawancarai langsung melalui kanal YouTube oleh Habib Husein Jafar. Lalu, apakah Ezra Abraham juga seorang anggota Freemason di Indonesia? Belum tentu juga.

Sejak tahun 1955, Freemasonry Indonesia telah melepaskan diri dari gerekan Freemasonry Belanda. Meskipun, corak organisasinya tetap mengacu pada nilai-nilai solidaritas kemanusiaan, yang berbasiskan filsafat Barat dan kebebasan berpikir.

Seorang peneliti sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, Lilie Suratminto menjelaskan, bahwa yang terukir di bagian bawah nisan berupa lambang satu mata, penggaris dan jangka adalah simbol Freemason yang digagas oleh pendirinya, Albert Pike, seorang berkebangsaan Scotlandia. Jangka dimaknai sebagai lambang ketuhanan. Penggaris dimaknai wujud bumi sebagai planet yang produktif di jagat raya ini. Adapun mata merupakan lambang The Eye of God atau mata yang melihat segalanya, atau di zaman Mesir purba dikenal sebagai The Eye of Horus.

Lilie menambahkan, bahwa simbol jangka dan penggaris melambangkan Yin dan Yang, antara keras dan lembut, pria dan wanita, siang dan malam, tegas dan sabar, kelahiran dan kematian, yang sekalgus menjadi sifat-sifat ketuhanan yang bermakna harmoni atau keseimbangan. Selain itu, lambang jam pasir, menunjukkan atribut Dewa Waktu, yang disebut “Chronos”.

Baca Juga:  9 ASN di Pamekasan Disanksi, Salah Satunya Kena Kasus Korupsi

Tinjauan historis

Sejarawan Freemasonry, Sam Ardi, dengan tegas menyatakan bahwa peninggalan yang tampak jelas adalah Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Gedung Kimia Farma. Dua gedung itu merupakan sekretariat atau tempat pertemuan (loji) peninggalan Freemasonry yang bisa dilihat hingga saat ini. Itulah dua gedung, tempat berkumpulnya anggota Freemason untuk mendengarkan ceramah, berdiskusi dan saling bertukar pikiran.

Di luar itu, mereka mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, perpustakaan, hingga bank.

Dalam perjalanannya, ada beberapa tokoh besar di Indonesia yang bergabung dengan Freemason, misalnya Radjiman Wedyodiningrat. Dokter lulusan Stovia sekaligus anggota organisasi Budi Utomo itu juga menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dari BPUPKI ini kemudian tercetus fondasi penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.

Tokoh penting lainnya adalah kepala kepolisian pertama Republik Indonesia, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Soekanto adalah ketua Loji Agung Freemason Indonesia, yang juga berperan aktif dalam membentuk institusi kepolisian RI dari titik nol. Selain itu, banyak generasi milenial yang belum mengetahui, bahwa penulis buku berjudul “Max Havelaar” sebagai warganegara Belanda yang menentang pendudukan atas Indonesia, juga adalah anggota Freemason, yakni Eduard Douwes Dekker (Multatuli)

Para tokoh ini menjamin kebebasan berpikir dan berfilsafat. Mereka para pemikir bebas, lalu dituangkan dalam lisan dan tulisan untuk disebarkan ke khalayak ramai. Jadi pada prinsipnya, tidak sedikit pengamat yang menilai Freemasonry sebagai organisasi berbadan hukum yang lumrah dan wajar saja. Ia menjunjung tinggi nilai kebebasan dan kemerdekaan, juga anti kolonialisme.

Di Indonesia, tujuan organisasi ini adalah menjalankan persaudaraan yang mengusung nilai kemanusiaan, kesetaraan, dan kebebasan berpikir, serta menjadi titik pertemuan antara budaya Timur dan Barat. ***

*Peneliti dan peminat sastra milenial Indonesia, menulis opini dan karya sastra untuk media nasional cetak dan online.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *