❖ Enzen Okta Rifai, Lc.
❖ Alumni International University of Africa, Republik Sudan
Imam Thabari dikenal sebagai sejarawan muslim yang sangat produktif. Metode penulisan sejarahnya lebih bertumpu pada periwayatan, dan bukan hanya berdasarkan imajinasi maupun logika murni. Setiap informasi yang dihimpun, banyak merujuk langsung pada ucapan maupun kesaksian narasumber (oral history), karenanya sering ditemukan informasi berbeda dari peristiwa yang sama. “Saya akan membiarkan pembaca menilai sendiri dari tiap-tiap informasi yang disajikan dalam buku saya,” tegas Imam Thabari.
Informasi yang dihimpun, disertai penyebutan nama narasumber (sanad) sehingga sampai kepada tangan pertama. Sehaluan dengan Bukhari dan Muslim, serta para ahli hadits dalam meriwayatkan hadits-hadits Nabi. Bila informasi itu dikutip dari sebuah buku, ia selalu menyebutkan nama pengarang buku tersebut. Jika informasinya didengar langsung, maka ia akan menulis: “Si Fulan berkata pada saya….” Dan jika informasi tersebut didapat dari surat-menyurat, ia akan menulis: “Si Fulan menulis surat untuk saya….”
Sistematika penulisan sejarahnya bersifat kronologis berdasarkan urutan tahun (annalistic form). Jika ia menulis peristiwa pra-Islam, maka tahun-tahun tidak dicantumkan, karena hal tersebut tidak menyangkut kapasitasnya. Namun setelah datangnya Islam, urutan tahun demi tahun sedemikian ketatnya, terutama sejak peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad ke kota Madinah hingga tahun 302 Hijriyah.
Informasi-informasi sejarah yang tidak ada hubungannya dengan waktu tertentu, ditulis sendiri secara tematik. Misalnya, setelah membicarakan peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahan khalifah tertentu. Kemudian, ia membicarakan sifat-sifat, akhlak, dan keistimewaan khalifah bersangkutan. Meski di akhir bukunya, dengan sengaja tidak dicantumkan kepustakaan secara mendetil, menyangkut kepentingan penguasa yang berbeda paham dan aliran kepercayaan. Karenanya, mereka akan merasa tersinggung jika menyampaikan rujukan langsung dari tokoh yang tidak disukai oleh mereka maupun rakyat yang dipimpinnya.
Selain itu, Imam Thabari juga sangat piawai menyajikan bahasa dalam bentuk prosa, syair-syair, khutbah, ceramah, surat-surat, hingga percakapan dan dialog dalam suatu peristiwa bersejarah. Banyak kajian sejarahnya, yang kemudian ditelaah lebih mendetil oleh para sejarawan sesudahnya, misalnya oleh Abu Hasan al-Hamadzani. Juga oleh salah seorang muridnya, Abu Muhammad al-Farghani dalam kitabnya, Shilat at-Tarikh.
Karya Imam Thabari
Karya-karya Imam Thabari sangat relevan dan terus diakui validitasnya hingga memasuki era milenial ini. Tafsir At-Thabari terbit dalam 24 jilid, dan terus menjadi rujukan dan kajian-kajian ilmu yang sangat berharga hingga saat ini. Judul asli dari karangan tafsir tersebut adalah “Jami Al-Bayan (at-ta’wil ayil qur’an)”. Salah satu buku sejarahnya juga bertajuk “Tarikh At-Thabari”, meskipun judul aslinya adalah “Tarikh ar-Rusul wal Muluk”. Buku ini dengan cermat mengisahkan perjalanan hidup para rasul dan raja-raja terdahulu.
Selain itu, ada “Tahdhibul Atsar”, sebuah koleksi hadis-hadis Nabi yang disusun sesuai alfabet, berdasarkan urutan nama-nama sahabat yang menjadi rujukan dan sumber periwayatan. Banyak ulama dan intelektual muslim menilai karya ini sebagai salah satu kitab koleksi hadis terbaik. Selain itu, ada kitab Adabul Qodho’ (Al-Hukkam), Adabul Manasik, Syarai’ al-Islam, Ikhtilaful Ulama, Tarikh at-Tabshir, al-Basith (setebal 1.500 halaman).
Kitabnya yang inilai istimewa oleh Az-Zahabi adalah “Tahdhibul Atsar”, membahas soal perbedaan pendapat para ulama berikut alasan masing-masing (hujjah), yang dilengkapi dengan sanad al-asyrah, ahlul bait, al-mawali dan beberapa sanad dari Ibnu Abbas. Kitab Tahdzibul Atsar masih terus dikerjakan hingga wafatnya. Bahkan, Imam Thabari menyatakan, jika kitab itu dilanjutkan, maka akan mencapai ratusan jilid. Di antara karya-karyanya, ada beberapa kitab yang belum sempat dipublikasikan, di antaranya al-Qiyas, Ibarat al-Ru’ya dan Ahkam Syarai’ al-Islam.
Berapa pun jumlah karya Imam Thabari yang ada dengan kondisi yang berbeda-beda, yang jelas ia adalah salah satu dari penulis dan cendekiawan muslim yang sangat kreatif dan produktif hingga akhir hayatnya.
Biografi Imam Thabari
Sulit ditelusuri mengenai jejak kelahiran Imam Thabari. Nama lengkapnya, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir, tahun kelahirannya diperkirakan pada 224 Hijriyah. Ada juga pendapat sejarawan yang menyatakan awal tahun 225 Hijriyah. Para sejarawan yang menulis biografinya tak banyak yang menjelaskan masa-masa kecil maupun kondisi keluarganya.
Jika melihat faktor lingkungan ketika Imam Thabari tumbuh dewasa, di masa tersebut adalah zaman ketika tradisi keilmuan Islam mengakar kuat. Terbukti dengan munculnya sejumlah ulama besar dari daerah Amul, seperti Abdullah bin Hamad al-Amuli, Ahmad bin Harun al-Amuli, hingga Abu Ishaq bin Basyar al-Amuli.
Sebagian sejarawan menuliskan keluarga Thabari yang sederhana bahkan miskin di Baghdad. Meski ayahnya menekankan pentingnya dunia pendidikan bagi anak-anaknya. Dorongan dari ayahnya telah memicu Thabari kecil pada semangat menuntut ilmu. Ia pun pernah bercerita di hadapan murid-muridnya tentang dukungan ayahnya, Jabir bin Yazid. Bahkan Imam Thabari pernah berkata, “Aku sudah hafal Alquran ketika berumur 7 tahun, lalu sudah mengimami salat ketika umur 8 tahun. Beranjak ke umur 9 tahun sudah mulai menulis hadits-hadits Nabi. Ayahku pernah cerita, bahwa ia bermimpi ketika aku sedang berada di depan Rasulullah sambil membawa keranjang yang penuh dengan batu-batu. Lalu, aku melemparkannya di hadapan Rasulullah. Keesokan harinya, ayahku mendapat kabar dari penta’bir mimpi, bahwa anakmu kelak akan berguna bagi agamanya, serta menyuburkan syariatnya. Mulai sejak itulah ayahku bersemangat untuk mendidik aku.”
Adapun perihal wafatnya Imam Thabari, sejarawan Ahmad bin Kamil pernah menulis bahwa beliau meninggal pada waktu sore, di akhir bulan Syawal, tahun 310 Hijriyah. Ia dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, Baghdad. (*)