Mohammad Khairul Umam
Mungkin banyak orang bertanya tentang filosofi dari Sekolah Jalanan (SJ) ini. Saya ingin menjelaskan secara sederhana, bahwa akar konsep pemikiran ini terinspirasi saat saya bergelut di dunia jalanan.
Dunia jalanan yang saya maksud adalah dunia motor, dunia berkendara di jalanan, atau bahasa kerennya sekarang, atau bahasa inggrisnya; bikers.
Saya berkeinginan untuk menikamati hidup dari mana pun saya berada, termasuk di dunia jalanan ini. Saya mulai tertarik bergelut penuh di dunia jalanan pada tahun 2014, saat menjadi jurnalis Kabar Madura di Sampang.
Di sana saya sering ngopi bareng dengan teman-teman di jalanan bahkan ikut membuat konsep bareng ketika ingin jalan-jalan–kalau istilah kerennya touring.
Arti kata sekolah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah usaha menuntut ilmu pengetahuan. Sedangkan jalanan adalah jalan atau lorong yang berkaitan dengan sepanjang jalan.
Ketika mengacu pada dua arti kata ini bisa sedikit dipahami bahwa SJ adalah sebuah keinginan belajar di manapun berada, termasuk di jalanan. Sebuah keinginan belajar sesuatu yang tidak mengenal tempat. Sebuah keinginan kuat untuk belajar meski bukan di lembaga pendidikan. Sebuah keinginan belajar yang tidak mengenal usia. Sebuah keinginan belajar yang tidak terbatas waktu.
Sekolah jalanan sengaja diangkat berdasarkan sebuah pemikiran bahwa di jalanan pun kita bisa belajar. Sebab, sekali lagi, belajar tidak hanya identik di ruang kelas, belajar tidak selalu identik dengan apa yang kita sebut sebagai lembaga pendidikan. Belajar tidak hanya identik dengan namanya seragam.
Saya masih ingat ketika ada kata bijak yang mengatakan, bahwa di jalanan kita belajar sesuatu yang tidak tertulis. Belajar bagaimana harus mengedepankan etika dan tatakrama.
Saya juga masih ingat bagaimana ketika bertemu dengan banyak teman yang hidupnya di jalanan. Banyak belajar dari mereka yang berjuang di jalanan. Belajar dari mereka yang kehidupannya hanya bertahan untuk hidup. Belajar dari mereka yang belum memiliki kesempatan untuk belajar di lembaga formal.
SJ merupakan sebuah konsep pemikiran tentang kepedulian kepada mereka yang bergelut di jalanan. Mulai dari anak jalanan, klub motor, klub mobil, pecinta sepeda ontel, abang becak, sampai pedagang kaki lima.
Mungkin sebagian orang berpikir bahwa di jalanan identik dengan namanya urak-urakan, arogan dan bahkan balapan liar. Mungkin juga ada yang terbesit bahwa di jalanan identik tawuran, bahkan minuman keras. Bukan hanya itu saja, terdengar labelisasi bahwa di jalanan adalah tempat bagi orang-orang pengangguran, orang-orang pinggiran dan anak terlantar.
Saya tidak ingin menyalahkan tentang penilaian miring ini. Karena hidup di jalanan pada dasarnya memang hidup dalam hamparan yang tidak tertulis. Namun bagi saya, meskipun bukan tempat suci, di jalanan juga bukan tempat yang kotor.
Saya banyak belajar memahami berbagai karakter seseorang, banyak belajar tentang perbedaan warna, tentang tanggung jawab sosial dan kemanusian. Banyak belajar bersyukur dari jalanan. Banyak belajar tentang arti sebuah ketulusan dan belajar tentang arti persaudaran.
Bukan hanya itu saja, saya juga belajar tentang arti jati diri, namun yang terpenting, di jalanan saya juga belajar mendekatkan diri kepada Tuhan.
Prinsip jalanan, adalah, tidak takut kotor karena baju bisa dicuci, tidak takut lumpur karena sepatu masih bisa dibersihkan. Belajar dari anak motor, sebesar apa pun cubicle centimeter (CC) mesinnya tidak akan pernah menutup pintu untuk ditumpangi.
Di dunia motor ini, seseorang akan kelihatan karakter sebenarnya. Singa akan berkawan sesama singanya. Ular akan berkumpul sesama ularnya. Mental petarung akan selalu menahan amarahnya. Mental pecundang akan selau berkowar di ketiaknya.
Lebih baik segelintir para singa daripada segerombolan ratusan domba.(*)
Kelas Malam Kelas Mental. Master Max Community. Salam membuM1.
Penulis: Mohammad Khairul Umam
Dosen & Ketua Umum Master Max Community