– Indah Noviariesta
Jika ditelaah melalui terminologi ilmu psikologi, kepribadian orang Indonesia yang cenderung religius, sangat mendekati konsep pemikiran Carl Gustav Jung, sebagai murid dari penemu psikoanalisa Sigmund Freud. Jung pernah mempopulerkan dua tipologi kepribadian manusia sebagai ekstrovert dan introvert. Orang Indonesia yang cenderung berjiwa ekstrovert dikenal luwes dalam pergaulan, enerjik, spontan, banyak bicara atau menyapa melalui medsos. Mereka senang berinteraksi dan berkumpul dengan khalayak, memimpin grup WA, serta berani mengutarakan ide dan gagasannya tanpa tendeng aling-aling.
Tipikal ini penuh dengan gelora perjuangan, hingga kurang cocok untuk memfokuskan diri dalam kehidupan yang kontemplatif. Seringkali ia menampilkan diri dengan urusan tugas dan usaha duniawi, serta melibatkan diri untuk mempercantik dunia, yang dalam istilah Jawa, “mamayu hayuning bawana”.
Beda dengan tipikal mereka yang berjiwa introvert, lebih cenderung pada kehidupan yang sunyi, berpikir, merenung dan penuh kontemplatif. Ia tak menyukai suasana lapangan kerja yang gaduh dan ramai, tetapi lebih pada upaya membangun relasi yang bersifat personal. Dalam percakapan, ia lebih cenderung memantau dan mendengarkan pihak lain. Adakalanya ketika dipancing pertanyaan, ternyata ia berpandangan cukup luas, bahkan kadang terlampau visioner dan melampaui zamannya.
Dapat pula kita namakan sebagai “manusia kamar” yang posisi ontologisnya adalah penyendiri, pemikir dan cenderung filosofis. Ia lebih berperan selaku pengolah dan produsen ide-ide, sebagai pertapa yang menjaga kesucian diri. Manusia seperti ini tak ubahnya seorang sastrawan, intelektual atau cendekiawan yang seakan menetap di atas awan putih.
Di dunia tasawuf, seorang pemikir yang menyenangi kesunyian ini dikenal sebagai pribadi yang memiliki maqam “tajrid”. Ia akan merasa optimal ketika mengerjakan sesuatu di tempat sunyi yang jauh dari keramaian. Dalam ajaran Hindu kita mengenal istilah “dharma”, yang paralel dengan istilah “maqam”. Setiap manusia harus menjalani hidup sesuai dharma-nya masing-masing, karena jika seorang penyendiri terlibat terlalu jauh dengan keramaian, ia bisa disebut telah menyalahi kodrat kemanusiaannya.
Ada berbagai faktor yang memengaruhi kedua karakter ini, tapi tidak sedikit psikolog yang sepakat pada faktor genetis dan keturunan. Karenanya, terlalu dini jika kita berkesimpulan bahwa seorang yang terlahir sebagai ekstrovert seakan-akan lebih unggul ketimbang introvert. Inilah yang membuat keliru banyak kebijakan di instansi pemerintah atau perusahaan, yang berupaya membangkitkan seorang introvert agar menjadi ekstrovert. Padahal, yang terpenting, bagaimana para pemimpin mempelajari dan memahami karakteristik seorang introvert, mencari tahu kebutuhan mereka, serta mengoptimalkan segenap potensi yang mereka miliki.
Berkarya dalam kesunyian
Perlu dipahami, bahwa seorang introvert yang cenderung menyepi dan menyendiri, memiliki potensi-potensi besar yang kadang tak mampu dimengerti oleh pandangan kaum awam. Sepintas saya contohkan beberapa tokoh besar yang berjiwa introvert, seperti sutradara film Steven Spielberg, Albert Einstein, JK Rowling, penulis novel Harry Potter yang sewaktu muda sering ditolak penerbit karena sifat minder dan pemalunya. Termasuk Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya orang Indonesia yang beberapa kali masuk nominasi untuk penghargaan nobel di bidang kesusastraan.
Di era Orde Baru (1965) tidak sedikit para penulis dan intelektual yang berjiwa introvert telah mendekam di penjara atau dibuang ke Pulau Buru selama belasan tahun. Rezim militerisme akan mudah menangkap mereka yang berdiam diri di kamar-kamar, tanpa punya kemauan melarikan diri, serta tak mungkin punya perlawanan yang berarti. Jika kita bicara yang lebih tendensius, sepertinya kemajuan berbagai bidang ilmu dan teknologi, tanpa peran para introvert, Indonesia akan kewalahan menghadapi era milenial yang sarat kompetisi dan persaingan global ini.
“Para sastrawan dan wartawan pendukung kebijakan Soekarno, memiliki tempat tinggal dan alamat yang jelas. Jika Orde Baru mau bertanya, mereka akan menjawab semampu mereka. Jika Orde Baru menginginkan ilmu, mereka akan memberinya tanpa pamrih. Tapi, jika militer Orde Baru mau menangkapi mereka tanpa proses pengadilan, kebanyakan mereka adalah orang-orang yang berkarya di dalam rumah, dan tidak memiliki senjata apa pun,” tegas Joesoef Isak, pemimpin Hasta Mitra, yang menerbitkan novel-novel Pramoedya Ananta Toer.
Di sisi lain, kehidupan manusia ekstrovert disebut dalam istilah sufi sebagai sosok yang memiliki maqam “tadbir”, yakni orang yang mengandalkan hidup dengan kerja dan kerja keras. Di zaman Orde Baru disebut sebagai “manusia pembangunan”, yang hidup dengan ikhtiar membangun negeri serta mengikuti hukum sebab-akibat. Namun demikian, seberapa kuat tenaga manusia untuk bekerja secara obsesif dan ambisius, masih tetap dibutuhkan jeda waktu untuk rehat dan istirahat. Terkait dengan ini, Ibnu Athaillah pernah menyarankan dalam kitab “al-Hikam”, bahwa ada saat-saat tertentu manusia perlu melupakan segala pekerjaan, untuk memberikan istirahat kepada jiwa dan pikirannya. Sebab, jika seluruh hidup dihabiskan pada urusan tadbir, maka manusia akan mudah dihinggapi kepenatan, rasa stres hingga tekanan batin.
Biasanya, tipikal ekstrovert menyadari betul bahwa suatu pekerjaan besar tak mungkin dipikul oleh kekuatan satu orang pribadi. Manusia tak bisa memborong sendirian seluruh pemecahan masalah tanpa melibatkan orang lain. Banyak potensi yang dimiliki pihak lain yang melebihi apa-apa yang kita miliki. Ada porsi dan takaran-takaran tersendiri, sehingga ketika suatu urusan dapat diselesaikan oleh yang ahlinya, kita harus bersikap legawa untuk menyerahkan urusan pelik tersebut.
Memang, masing-masing karakter memiliki preferensi yang berbeda-beda, sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Para ekstrovert cenderung menangani pekerjaan mereka secara lebih cepat dan mampu mengambil keputusan dalam waktu singkat. Namun, adakalanya bersikap temperamen dan gegabah. Mereka senang mengambil risiko dan menyukai pekerjaan yang bersifat multitasking. Kebalikannya, orang introvert lebih membutuhkan waktu dalam menyelesaikan tugas, dan cenderung berhati-hati. Mereka lebih menyukai fokus pada satu pekerjaan dalam satu waktu, serta lebih membutuhkan privasi dalam menyelesaikan urusannya.
Atasan ekstrovert lebih sesuai mengelola tim kerja yang membutuhkan banyak arahan, karena ia dituntut untuk membangkitkan semangat, merumuskan visi, dan membuka jaringan sosial. Tapi, bila suatu instansi didominasi orang-orang ekstrovert, akan mudah tersulut konflik karena masing-masing akan mengedepankan ego dan kemampuan diri. Sebaliknya, jika suatu tim kerja didominasi para introvert, maka dinamika kelompok kurang berjalan secara kreatif. Untuk itu, suatu instansi yang efektif dan ideal, mesti terbentuk dari kombinasi yang proporsional antara kedua kekuatan tersebut.
Suatu ujian berat
Banyak peringatan religius yang diberikan bagi orang yang memiliki jiwa ekstrovert, dan seringkali berlebihan mengandalkan kemampuan otaknya di era milenial ini. Seorang tokoh sufi dari Baghdad, Ahmad Ibnu Masruq (w. 910 M) pernah memperingatkan adanya tadbir yang cenderung memaksakan kehendak, serta melampaui zamannya. Di dunia teknologi disebut dengan istilah “juggernaut”, suatu penemuan ilmiah yang diuji-coba secara tergesa-gesa, sampai akhirnya menghancurkan dan menenggelamkan penciptanya sendiri.
Tadbir yang terlampau ambisius diperingatkan dalam filsafat Jawa, dengan istilah “sumeleh” yang berarti “menaruh” atau “meletakkan”. Pada saat kehidupan sehari-hari disibukkan oleh tadbir yang membuat orang mengalami stres dan tekanan batin, selayaknya beristirahat dan mengingat kebesaran dan keagungan Tuhan. Jadi, sikap “sumeleh” tak bisa diartikan pasrah dan menyerah, tetapi hanyalah cara untuk menyehatkan dan membuat diri kita rileks dari segala kesibukan dan kepenatan.
Kalau manusia memaksakan kehendak, ngoyo atau nggege mongso, mempercepat suatu usaha hingga mamaksakan diri sebelum tiba waktunya, maka ia akan mengalami tekanan mental, bahkan cenderung “tak beradab” di mata Tuhan. Hal ini seringkali dianggap sebagai tren dalam kehidupan masyarakat milenial, sampai pada waktunya si pelaku terperosok ke dalam lubang, namun ia telah lupa bahwa lubang itu pernah dia gali dan ciptakan sendiri di masa lalu.
Dapat juga dipengaruhi faktor genetik (nasab) yang membuat seseorang berjiwa introvert (tajrid) ataukah ekstrovert (tadbir), terutama apakah orang tuanya — dalam istilah Hindu – tergolong kasta brahmana, ksatria, waisya, ataukah sudra. Untuk itu, kaum sufi memperingatkan, jika seseorang mengucilkan diri sebagai “manusia kamar”, sementara Tuhan menempatkannya dalam dharma “manusia sosial” maka hal tersebut dikarenakan ia pemalas atau menuruti nafsu yang bersifat terselubung.
Tetapi sebaliknya, jika ia terlampau melibatkan diri di lapangan, sementara Tuhan menempatkannya dalam maqam tajrid (manusia kamar), maka ia telah mengalami kemerosotan kelas (kasta).
Ini adalah persoalan pelik yang menjadi perdebatan kaum sufi selama berabad-abad. Hingga suatu hari, seorang kiai muda pemimpin pesantren modern yang mengelola dan mengurus ratusan santri di daerah Banten, merasa terpesona dengan kekhusukan dan ketenangan hidup seorang manusia kamar (tajrid). Ia menemui seorang ulama sepuh di daerah Ciomas, yang hidup menyepi di perbatasan Banten Selatan (Sunda) dan Banten Utara (Jawa).
Kiai muda itu mau menyatakan dirinya pamit meninggalkan pesantren, karena ingin fokus menjadi manusia mistis dan kontemplatif.
Namun, belum sempat dia mengatakan maksud kunjungannya, ulama sepuh itu sudah mendahuluinya dengan sebuah penegasan: “Bukan begitu caranya. Sebaiknya, kamu tetap istiqomah pada posisi yang dianugerahkan Tuhan kepadamu. Pengalaman spiritual yang kamu cita-citakan itu, Insya Allah akan tercapai dengan jalan kamu tetap konsisten di lapangan sambil mengurus para santri.”
Perihal rizki Allah
Suatu hari sang guru mengajarkan ilmu hikmah kepada sang murid (sebut saja Fulan), bahwa sifat rizki itu bagaikan seekor burung yang terbang mencari makan di pagi hari, kemudian ia pulang dalam keadaan perut kenyang di petang hari. Si Fulan mendebat gurunya dengan lantang bahwa, bagaimana mungkin burung itu akan mendapatkan rizkinya jika ia tidak keluar dari sarang untuk mencari makan.
Persoalan itu terus menjadi ganjalan di benak sang murid yang merasa kesulitan menemukan kepastian akan kebenarannya. Hingga suatu ketika, seorang pemilik kebun jeruk meminta bantuan Fulan untuk turut-serta memetik buah-buah jeruk pada saat panen. Dari pagi hingga siang hari, ia bekerja keras memetik buah-buah jeruk, sampai kemudian si pemilik kebun memberikan imbalan satu karung jeruk atas kerja keras dan jerih-payahnya.
Sore harinya, Fulan mendatangi rumah gurunya, sambil membawa setengah karung jeruk yang dihadiahkan kepada sang guru. “Pak Guru, tadi pagi saya bekerja keras di kebun anggur yang luas, sampai si pemilik kebun memberi saya imbalan dengan sekarung jeruk, dan sebagiannya saya berikan sebagai hadiah untuk Pak Guru.”
“Alhamdulillah, terima kasih, Fulan.”
“Tapi, kalau tadi pagi saya tidak keluar rumah dan tidak bekerja keras di kebun jeruk, mana mungkin saya mendapatkan sekarung jeruk dari si pemilik kebun itu?”
Sang guru menghela nafas dengan pendangan menerawang, kemudian ujarnya dengan tenang, “Baik Fulan, ada benarnya apa yang kamu katakan itu. Meskipun, saya juga memperoleh rizki dengan setengah karung jeruk, walaupun tadi pagi saya berada di rumah dan tidak bekerja keras untuk membantu si pemilik kebun jeruk.” (*)
– Pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa (Gema Nusa), menulis prosa dan esai di berbagai harian nasional cetak dan online.