KABARMADURA.ID | Kata Innalillah sebanyak apa pun diucapkan atas tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang pada 1 Oktober kemarin, tidak akan cukup. Sungguh, pilu dan memilukan. Menyakitkan, sesak untuk dikenang.
Ratusan korban meninggal dunia dan sebagian masih harus dirawat di rumah sakit, bukanlah angka kecil. Jumlah itu tentunya tidak akan ada jika semua pihak menahan emosi, amarah dan taat protokol pertandingan sebagaimana diatur dalam manual pertandingan Liga 1, kode disiplin dan tentunya protokol FIFA.
Manual pertandingan, kode disiplin dengan tegas mengatur bahwa tidak boleh ada asap di dalam stadion. Baik itu asap yang ditimbulkan dari api di luar stadion hingga masuk stadion, flare, smoke bomb maupun kembang api. Tak heran, larangan membawa alat-alat tersebut diperiksa ketat di pintu masuk stadion. Jika terdapat kejadian lahirnya asap karena kembang api, smoke bomb dan flare, maka klub akan kena denda sebagaimana kode disiplin.
Larangan adanya asap itu, harus dipahami filosofinya dengan baik. Stadion adalah gedung yang untuk masuk harus melalui pintu. Demikian juga untuk keluar, harus melalui pintu. Sebagai gedung, stadion sebagian besar memang tanpa atap. Tapi, dikelilingi tembok, maka sirkulasi udara juga sedikit terbatas.
Gara-gara asap flare saat Madura United menghadapi Persiba Balikpapan di Stadion Gelora Bangkalan pada 13 Juni 2016, wasit Oki Dwi Putra harus dibantu pernafasannya dengan oksigen oleh tim medis. Bukan hanya wasit, kala itu juga terdapat beberapa suporter yang harus dibantu dengan oksigen karena asap flare. Ini hanyalah asap flare, apalagi asap yang ditimbulkan gas air mata.
Sesak nafas, juga menjadikan orang-orang yang berada di dalam stadion ingin segera keluar. Maka, bayangkan jika terdapat 1.000 orang harus berebut keluar cepat dari stadion melalui satu pintu yang hanya lebar 8 meter. Sudah sesak dengan asap, mereka juga mengalami sesak karena berdesak-desakkan. Membayangkan 1.000 orang berebutan keluar melalui satu pintu sudah pening, apalagi jumlah penonton di Kanjuruhan Malang pada pertandingan tersebut hitungannya di atas 20.000 orang.
Asap, ingat, asap bisa menyebabkan sesak. Apalagi itu gas air mata. Penjagaan ketat di pintu masuk hingga adanya pemeriksaan agar tidak membawa barang yang berpotensi mengeluarkan asap banyak, nyatanya dilupakan oleh petugas keamanan. Mereka bebas masuk membawa gas air mata yang nyata-nyata sudah dilarang FIFA maupun otoritas olahraga.
Tragedi di Kanjuruhan bukan semata-mata melihat kondisi di lapangan bahwa beberapa suporter turun. Tetapi lihatlah arah penembakan gas air mata oleh petugas, menit per menit. Bagaimana ribuan penonton yang masih berada di tribun harus terdesak segera keluar stadion dengan lebar pintu 8 meter. Maka skenario emergency exit juga penting diperhatikan. Namun, nyatanya, di pintu keluar mereka juga sudah berhadapan dengan kerusuhan karena sebagian penonton yang kalap atas keteledoran penanganan di dalam stadion.
TIM REDAKSI KABAR MADURA