Oleh: Muhammad Itsbatun Najih*
Internasionalisasi Bahasa Indonesia sekiranya menjadi target serta amanat yang mesti tercapai pada 2045. Namun, untuk menuju ke arah sana, sepertinya akan melalui jalan berliku. Sememangnya kita pernah punya aturan perihal kewajiban pekerja asing berpunya kemampuan Bahasa Indonesia. Namun amat kita sesalkan, kini aturan tersebut telah dihapus.
Padahal, kebanggaan suatu bangsa salah satunya diukur melalui budayanya, termasuk bahasa yang digunakan. Kebanggaan itu kemudian idealnya mewujud pada kesadaran historis dan berimplikasi. Indonesia sejatinya terlalu banyak bahasa dalam masing-masing etnitas-kesukuan. Untungnya, ada semangat kebersamaan menempatkan satu bahasa sebagai elan persatuan dan identitas keindonesiaan. Karena itu, Sumpah Pemuda 1928 sebagai tonggak kesadaran historis bahwa ada kerelaan dan upaya untuk terus merawat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sampai kapanpun. Bahwa merawat lebih sulit daripada mencipta kiranya kini telah menemukan pembuktiannya.
Fenomena memprihatinkan itu layak disematkan kepada para generasi muda sebagai “tersangka”. Dalam lingkup berbahasa sehari-hari, praktis pemunculan bahasa yang tak sesuai pedoman resmi menjadi kelumrahan. Ada bahasa campuran: menggabung-gabungkan dua elemen bahasa. Apa susahnya berkata: “sejauh ini” ketimbang merujuk memakai “so far”.
Ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia jangan dianggap sebagai ujian termudah. Justru faktanya menghasilkan sebaliknya. Banyak peserta didik yang tidak lulus justru dari bahasa yang telah diajarkan dan dipakai sejak kecil tersebut. Tidak berhenti sampai di situ, dalam skala budaya pop era globalisasi, cakupan dan peran bahasa Indonesia semakin mengalami disfungsi; tergantung daya hegemoni suatu bahasa asing tersebut.
Perlu refleksi kesadaran sejarah terkhusus bagi generasi muda bahwa bahasa Indonesia adalah warisan tak ternilai. Untuk itulah, sedari sekarang sudah semestinya bila pemuda menjadi pelopor kembalinya kebanggaan berbahasa Indonesia; sebagai penebusan dosa.
Kesadaran sejarah
Penciptaan kesadaran sejarah itu bisa dimulai dengan penggalian gagasan persatuan melalui peristiwa yang hampir terlupa di benak politik perbukuan tentang sejarah Sumpah Pemuda. Adalah M. Tabrani, seorang perwakilan golongan pemuda yang datang dari Pulau Garam, Madura, pada kala Kongres Pemuda I. Dialah tokoh pelurusan terhadap identitas pesatuan Indonesia lewat pembelaan atas arti keindonesiaan. Di saat semua peserta kongres hendak menyetujui rumusan Sumpah Pemuda untuk Berbangsa satu, Bangsa Indonesia, Bertanah Air satu, Tanah Air Indonesia, dan Berbahasa satu, Bahasa Melayu, maka tampillah M. Tabrani sebagai patriot akan pentingnya nilai simbol dan istilah.
Ia tidak menyetujui istilah “bahasa Melayu”, walau sehakikinya bahasa Indonesia memang bersumber dari ranah Melayu. Menyetujuinya, berarti sama dengan mengagungkan simbol daerah tertentu. Bersikap primordial dan justru beranti-klimaks dengan ruh nasionalisme dan persatuan yang sedang digalang.
Tabrani pun mengusulkan penggunaan istilah “bahasa Indonesia” sebagai ganti “bahasa Melayu”. Sebuah istilah yang merujuk pada penghilangan sekat kesukuan. “Indonesia” berarti telah mewakili semua aras primordial dan berhasrat menuju satu keadaban dalam merajut semangat kebangsaan.
Langkah Tabrani menjadi terobosan visioner dan menggebrak zaman. Lakunya dalam memaknai perkembangan kebahasaan baru bisa dirasakan saat sekarang oleh anak-cucu macam kita. Terma “bahasa Melayu” bila waktu itu diamini peserta Kongres, maka serta merta akan mengalami kemandegan alias jalan di tempat. Penulis tak bisa membayangkan apa jadinya bila “blusukan” menjadi kata baru dalam perbendaharaan bahasa Melayu. Terdengar rancu dan menghilangkan kekayaan khazanah kemelayuan itu sendiri.
Kemudian bandingkan dengan menggunakan istilah “bahasa Indonesia” seperti sekarang ini. Entah “blusukan”, “wedhus gembel”, “emoh” dan istilah lainnya yang murni berasal dari Jawa, misalnya, justru menunjukkan luasnya cakupan istilah dalam bahasa Indonesia yang terambil dari suku tertentu. Bila wilayah Indonesia merentang panjang dari Sabang sampai Merauke dengan banyaknya suku yang mendiaminya, maka, bisa dibayangkan banyaknya istilah-istilah kedaerahan akan bermunculan yang menjadi kekayaan khazanah bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, upaya penggalian terhadap istilah-istilah daerah hendaknya terus digencarkan mengingat selama ini kita lebih sering mengambil istilah-istilah dari bahasa asing. Itulah sebenarnya esensi rill pentingnya menggunakan istilah “bahasa Indonesia” ketimbang “bahasa Melayu”.
Tantangan bahasa Indonesia
Bahasa daerah tidak menjadi parasit atas berlakunya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan bahasa negara. Keduanya tetap bisa tumbuh dan berkembang tanpa saling menegasikan satu sama lain. Namun, hal itu tentu merujuk pada pelaku bahasa. Karena itu, dibutuhkan aspek kontekstualitas penggunaannya. Bila antar individu yang sama-sama bersuku Jawa dan berada di pelosok kampung di Jawa pula, semestinya menggunakan bahasa Jawa sebagai media berkomunikasi. Sebaliknya, bila di acara resmi atau sedang tinggal di wilayah yang masyarakatnya heterogen macam Jakarta, tentu penggunaan bahasa Indonesia mutlak dilakukan.
Peran media massa sangat penting dalam mencipta kata baru. Dua kebudayaan yang bertemu pasti saling mengalahkan atau mempengaruhi. Sayangnya, kini bahasa Indonesia dalam posisi kalah. Hal itu bisa terlihat dari banyaknya istilah asing terkhusus pada bidang teknologi dan informasi yang serta-merta diambil tanpa sama sekali adanya upaya peng-Indonesiaan terlebih dahulu. Padahal, peran media massa sangat besar dalam usaha-usaha mencari dan membuat inovasi bahasa.
Sejauh ini kita baru melihat usaha tersebut dari media massa pada pemunculan kata “petahana”. Kata itu merujuk pada kata “incumbent” yang semakin marak dipakai untuk mengistilahkan seseorang yang sedang menjabat dan hendak mencalonkan diri lagi dalam sebuah pemilihan umum berikutnya.
Nah, bila kata baru telah tercipta yang dirasa lebih mengindonesia seperti “petahana”, tugas pemuda sebagai motor penggerak kebangsaan-kebahasaan tak lain dengan turut menyosialisasikannya dalam ranah percakapan dan tulisan. Kita tentu tidak ingin bahasa Indonesia hanya dikenal menyumbang perbendaharaan bahasa Inggris -sebagai bahasa internasional- lewat kata “amok” semata: sebuah hal paradoksal lantaran kita dikenal berbudaya santun. Maka, diperlukan penciptaan-penciptaan kata baru untuk kemudian digunakan secara bersama-sama sebagai sebuah kebanggaan identitas ke-Indonesiaan.
Namun, ide gerakan bahasa Indoensia sebagai bahasa (yang digunakan masyarakat) ASEAN akan sia-sia dan terlalu berlebihan apabila laku berbahasa kaum muda di Indonesia saja masih keinggris-inggrisan. Jangankan menjadi pencipta kata, istilah, atau setidaknya mempertahankan kebakuan berbahasa Indonesia dalam artian tanpa sudi intervensi bahasa asing; untuk sekadar sebuah pertanyaan: “Sudah sampai di bandara apa belum?” sebagian kaum pemuda menjawabnya: “Ini lagi OTW.” Sayangnya, bahasa Indonesia tidak mengenal OTW alias on the way. Padahal, apa susahnya berkata: “dalam perjalanan.”
*alumnus UIN Yogyakarta
Refleksi Hari Sumpah Pemuda 2023