Teladani Sosok Kartini, Mari Berlomba Menjadi Perempuan Panggilan

Opini144 views
Banner Iklan

Oleh: Anisa Nizara

Saya ingin berkenalan dengan seorng gadis modern, yang berani, yang dapat berdiri sendiri…yang selalu bekerja tidak hanya untuk kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesame manusia.

(Surat Kartini kepada Stella H. Zeehandelaar, 25 Mei 1899)

Raden Adjeng (RA) Kartini merupakah sosok perempuan yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita di Indonesia. Sejak awal abad ke-20, Kartini memanfaatkan momen transisi pola-pola pandangan masyarakat pribumi dengan gagasan pendidikan perempuan. Usaha kerasnya saat itu bisa dinikmati oleh para perempuan masa kini, yaitu dengan bebasnya perempuan untuk belajar di berbagai strata pendidikan, sehingga setiap tanggal 21 April setiap tahunnya, Indonesia memperingati hari Kartini.

Bukan perjuangan yang mudah bagi sosok Kartini muda untuk menuntaskan kehendaknya dalam mengubah nasib perempuan bangsa. Mengingat masa itu masih kental dengan konservatisme Jawa yang mengharuskan para perempuan untuk patuh dan taat pada adat dan tradisi. Tak jauh berbeda dengan perempuan lainnya yang mendapat penolakan dari keluarganya, namun berkat seringnya Kartini bertukar surat dengan sahabat-sahabatnya membuat Kartini cukup berwawasan dan memiliki pandangan yang terbuka tentang konsep pendidikan keadilan gender.

Lahir dari kasta priyayi tidak membuatnya berleha-leha hanya hidup untuk menikmati status sosialnya sebagai puteri seorang Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia memilih hidup dengan sosial yang tak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan lainnya dan justru menjadi sosok perempuan yang memiliki pemikiran visioner dan peduli terhadap kemajuan bangsa.

Sehingga sangat disayangkan jika perempuan-perempuan masa kini tidak mampu meneruskan titah perjuangan Kartini. Barangkali sekaranglah yang dahulu oleh Kartini disebut sebagai perempuan-perempuan modern dalam suratnya kepada Stella H. Zeehandelaar. Ia ingin bertemu dan berkenalan dengan para perempuan berani yang sudah hidup layak dengan anugerah bebas menempuh pendidikan dan kebijakan yang sesuai dengan modernisasi.

Namun dengan melihat realita yang terjadi, barangkali seandainya sosok RA Kartini masih hidup, beliau akan sangat menyayangkan perempuan-perempuan masa kini yang cenderung tidak mampu membaca dan memanfaatkan peluang atau privillege yang ada. Banyak perempuan yang justru terlena pada buaian perkembangan zaman.

Baca Juga:  Cendekiawan Muslim dari Jalur Gaza

Terlepas dari setiap polemic yang terjadi, semangat dan jiwa patriot seorang Kartini kiranya penting untuk selalu dibangkitkan di setiap kesempatan. Selain dengan mengenang jasa beliau, perempuan masa kini juga mesti cerdas dalam mengolah alam dan lingkungannya. Termasuk harus memiliki nilai atau modal yang akan membantunya menuntaskan kehendaknya.

Menurut Pierre Bourdiuw dalam bukunya yang berjudul Forms of Capital, capital atau modal tidak melulu soal uang. Dalam kajiannya ia menyebutkan bahwa capital atau modal bisa berupa; capital sosial (relasi, followers), capital kultural (prestasi, backround keluarga, dan pendidikan), dan capital simbolik (titel pekerjaan gelar pendidikan, dsb).

Dari pemaparan Pierre Bourdiuw tersebut bisa kita simpulkan bahwa seorang Kartini pun tidak akan mampu berangkat sebagai seorang feminis yang memperjuangkan hak perempuan jika tidak didukung pihak capital-capital terkait. Tidak bisa diklaim kapitalis pula sebab tanpa jiwa feminisnya tidak mungkin ada gerakan Kartini pada masa itu. Banyak sekali perempuan yang berasal dari keluarga bangsawan pada masanya, namun tidak akan tergerak jika tidak memiliki rasa dan empati ala perempuan feminis. Hal ini menjadi tanda bahwa syarat menjadi Kartini milenial adalah harus dengan adanya usaha, relasi, kecakapan dan gerakan yang terkoordinir.

Pola meneladani sosok Kartini oleh perempuan-perempuan millennial bisa dilakukan dengan banyak cara, di antaranya:

Perempuan harus paham bahwa dirinya adalah manusia utama

Dengan sadar bahwa perempuan adalah manusia utama, seorang perempuan akan menyempurnakan dirinya, belajar menempa diri, menguasai bidang intelektual, emosional, dan spiritual. Untuk menjadi sosok utama, tentu seorang perempuan harus berperang dengan dirinya sendiri, bukan melawan laki-laki. Sedangkan issue gender dan kesetaraannya sebenarnya merupakan konsep gerakan dari barat yang mengklaim bahwa perempuan adalah kaum minoritas yang tertindas sedangkan kaum pria lah yang adidaya, adikuasa dalam segalanya.

Gerakan ini menurut Aquarina Kharisma Sari, President of Malang Women Writer’s Socity dalam caption Instagram-nya, sebenarnya merupakan gerakan yang simalakama. Para feminis menggelorakan perang dengan para pria, maskulinitas, dan patriarki, sedang tanpa sadar orang-orang dalam gerakan ini sebenarnya telah mengadopsi dan menyetujui apa yang sedang meraka perangi. Pemilik username Instagram ‘Semak Mawar’ ini juga mengatakan bahwa perempuan yang cerdas tidak akan pernah ingin setara, dan ia akan lebih ingin menjadi yang utama.

Baca Juga:  Mencari Hiburan Berkualitas 

Senang menjadi Perempuan Panggilan

Kata-kata perempuan panggilan ini memiliki konotasi atau makna yang tidak lumrah dipahami oleh mayoritas orang. Tentu tidak logis jika meneladani sosok agung Ibu Kartini harus dengan menjadi perempuan panggilan yang biasa dipahami sebagai perempuan penghibur alias wanita malam.

Perempuan panggilan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan yang tanggap, sigap, dan multi-talenta. Tidak hanya melulu mengutamakan laki-laki, sekali-kali perempuan Madura jika dipanggil untuk mengadvokasi kepentingan publik, ia bisa. Dipanggil untuk menjadi orator, pemimpin, ketua panitia, atau MC, para perempuan tidak ragu untuk sigap belajar sampai bisa. Dengan mempelajari banyak hal, perempuan akan semakin paham bahwa keadilan gender antara laki-laki dan perempuan adalah hak asasi manusia.

Perempuan memiliki kemampuan alamiah dalam merangkap banyak aktivitas dalam waktu yang bersamaan. Tentu hal ini menjadi nilai lebih jika dimanfaatkan dalam bersosial. realitasnya, laki-laki lebih dipercaya sebagai sosok pemimpin, penjaga keamanan, dan penghasil kebutuhan hidup keluarga sedangkan perempuan adalah sosok yang bisa mengolahnya. Namun di lain sisi, perempuan yang lumrahnya oleh konstruk budaya hanya ditugaskan untuk mengurusi dapur sumur dan kasur, justru bisa lebih cakap dan bahkan lebih kompeten dari laki-laki. Jika laki-laki berkarir, pintar, dan berpenghasilan, perempuan juga bisa itu.

Dengan memanfaatkan kesempatan, perempuan-perempuan masa kini telah menghargai jasa dan perjuangan Ibu Kartini. Tidak selalu harus menunggu untuk diberi peluang, namun sebagai manusia seutuhnya perempuan juga bisa untuk mementukan dan menciptakan jalannya sendiri. Jadilah perempuan yang bebas dan berkehendak, yang setiap proses, perjuangan dan arah langkahnya tidak mudah diotak-atik dan atau dieksploitasi oleh pasangan maupun atasan. Selagi itu baik dan tidak merugikan siapapun, wujudkan, sesuai dengan menejemen yang tepat.

*Ketua Kopri PMII Komisariat IAIN Madura Cabang Pamekasan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *