Tunduk dalam Kesesatan

Opini150 views
Banner Iklan

Oleh Muhamad Pauji: Pegiat organisasi OI (Orang Indonesia,) menulis artikel dan prosa di berbagai harian nasional cetak dan online.

“Tak usah berkawan dengan orang yang tidak membangkitkan semangat kita untuk taat kepada Allah, yang perkataannya tidak menunjukkan ke jalan kebenaran.”  Seringkali Gus Dur mengutip pernyataan Ibnu Atha’illah dalam ceramah maupun tulisan-tulisannya. Bagi Gus Dur, kesadaran dan pemahaman akan Tuhan terkait sepenuhnya dengan percontohan yang harus diberikan tentang bagaimana seharusnya bergaul dengan Tuhan. Keteladanan adalah kunci dalam mengembangkan religiositas bagi pertumbuhan anak-didik. Keimanan seorang anak harus ditumbuh-kembangkan secara arif dan santun, sebagai representasi dari sifat-sifat Tuhan itu sendiri.

Selayaknya diberi pengetahuan bagi anak-didik agar pandai bergaul dengan kawan-kawan yang mau menjaga kebeningan hati, kesalehan amal dan keintegritasan sikap. Sebab, apa-apa yang diperbuatnya akan ditiru, dicermati dan diteladani. Seorang kawan yang baik akan menularkan karakteristiknya kepada kawan lain, hingga kemudian menelaah dan memanfaatkan efek dari kebaikan yang mengejawantah di sekelilingnya.

Gus Dur kadang menyindir “mereka” yang merasa paling mengerti Islam, namun gemar menanam benih kebencian dan kedengkian kepada sesama saudaranya hanya semata-mata perbedaan paham dan pemikiran. Menurutnya, tidak sedikit orang berilusi sebagai khalifah yang berhak mengatur segalanya, hingga berambisi menciptakan pemerintahan Islam di negeri ini. Padahal, perwujudan konsep negara Islam sudah ditolak oleh bangsa ini. Konsep itu ada dalam kalbu yang terbuka dan mau menerina cahaya Allah (nurullah), hingga membuat orang itu bersifat legawa dan rendah-hati terhadap sesama makhluk lain.

Sikap angkuh, sombong, dan merasa benar sendiri, mencerminkan karakteristiknya sebagai orang yang tidak menunjukkan jalan kepada Allah. Gus Dur menyebutnya sebagai orang yang “berakhlaq muhlikat”, cenderung menuruti hawa nafsu yang menjurus pada pengrusakan dan penghancuran. Mereka tergolong orang yang hawanya semakin menjauhkan nafsu dan ketenangannya menerima ketaatan dan kebagusan dalam beramal.

Menjauhi orang-orang yang tidak membangkitkan hati untuk hidup selalu dekat dengan Allah, sangat penting diperhatikan, terutama bagi mereka yang belum sampai pada maqom perintah untuk berdakwah, yang kata-katanya belum membangkitkan hati nurani dan akal sehat manusia. Mereka hanya mau genit-genitan selaku mursyid dan guru spiritual yang butuh pengakuan publik (riya) semata. Persahabatan dengan mereka hanya akan menambah beban dan menuruti nafsu, justru akan mudah menular dan memengaruhi satu sama lain. Karena akhlak yang merusak itu akan mudah ditularkan (su’ul khuluqi yu’dii).

 

Baca Juga:   Israel, Orde Baru dan Timor Leste

Cikal-bakal radikalisme

 

Tentu kita keberatan jika terorisme selalu dikonotasikan dengan agama tertentu. Meski para pemuka agama selalu menegaskan, bahwa masing-masing ajaran agama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang. Tetapi, kita tak boleh menutup mata, bahwa memang ada ajaran agama yang berpotensi disalahpahami sehingga melahirkan aksi-aksi terorisme dan radikalisme.

Menurut Said Aqil Siradj, mantan ketua umum PBNU (2010-2021), dalam sistem pemerintahan Islam cikal-bakal terorisme memang sudah ada sejak abad-abad pertama hijriah, tepatnya pada tahun 40 H. Pada saat itu, telah terjadi peristiwa pembunuhan Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh seseorang yang berpaham sangat radikalis, yakni Abdurrahman bin Muljam at-Tamimi.

Menurut golongan yang menyetujui pembunuhan Ali, mereka sepakat menuduh Ali sebagai kafir, lantaran memimpin negara tidak menggunakan nash-nash Alquran. Mereka membanggakan diri dengan mengutip-ngutip sepenggal ayat (al-Maidah: 44): “Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”

Karena Saydina Ali dianggap mengambil keputusan berdasarkan pendapat manusia, yang dianggap “bersumber dari akal”, maka ia dianggap kafir dan layak untuk dibunuh. Itulah yang mendasari tingkah-polah Ibnu Muljam dalam komunitas mereka yang menamakan diri ”Khawarij”. Tindakan anarkis mereka tak lain disebabkan kesalahan dalam kerangka berpikir lantaran memahami Alquran secara tekstual (lateral), tanpa perenungan dan pendalaman sesuai dengan metode dan kaidah memahami Alquran.

Dalam kaidah yang baik memahami Alquran, jelas ada unsur-unsur Muhkam-Mutasyabih, ‘Aam-Khas, Nasikh-Mansukh, dan lain-lain. Jika dikaitkan dengan persoalan keindonesiaan (era tahun 1965), penerimaan perundingan damai (arbitrase) kelompok Saydina Ali dengan kelompok Muawiyah, tentu Saydina Ali telah memiliki pertimbangan berdasarkan kedalaman ilmunya sebelum memutuskan untuk menerima perundingan damai. Seandainya pada saat itu Ali memutuskan hukum berdasarkan ketentuan Alquran yang hanya tektual (lateral) saja, boleh jadi korban-korban di kalangan umat Islam akan lebih besar lagi. “Tetapi, karena Ali mengedepankan kemaslahatan umum, ia pun akhirnya menerima perundingan dengan pihak Muawiyah, meski pada akhirnya keputusan itu merugikan kelompok Saydina Ali,” tegas mantan ketua umum PBNU tersebut.

Baca Juga:  Perihal Sastra Tanpa Kritik Sastra

 

Taat di jalan sesat

 

Menyitir ungkapan Gus Dur yang dikutip dari nasihat Ibnu Atha’illah di atas, hendaknya kita perlu hati-hati bersahabat dengan orang-orang cerdas yang seringkali gemar mengompori dan memprovokasi pengikutnya agar bertindak anarkis dan sewenang-wenang. Kecerdasan semacam itu biasanya dimanfaatkan untuk bersikap minteri atau ngapusi orang lain agar menuruti kemauan dan kehendaknya.

Sehaluan dengan Gus Dur dan Ibnu Ata’illah, nasihat sepadan datang dari pemikiran Imam Sahal bin Abdullah at-Tustari, yang memperingatkan kita agar berhati-hati kepada tiga jenis manusia yang kadang gemar memprovokasi manusia lain, di antaranya penguasa zalim, ahli qurra’ (pembaca Alquran yang bermuka dua), juga kepada orang yang pura-pura menekuni jalan tasawuf. Mereka itu dapat dikategorikan sebagai munafik atau melakukan nifaq, yang gemar melakukan pengrusakan (muhlikat) namun merasa dirinya sedang melakukan kebenaran.

“Apakah sama orang yang melangkah di jalan kebenaran dengan mereka yang melangkah di jalan sesat, namun merasa dirinya berada di jalan yang benar?” (al-Anam: 122)

Menurut Gus Dur, mereka itu belum beranjak ilmunya dari tingkatan “ahwal” menuju tingkatan “maqom”. Karena itu, perkataan mereka tidak membangkitkan hati untuk lebih dekat dan akrab dengan Allah. Sedangkan, amanat yang dipikul harus sesuai dengan kapasitas dan tugasnya selaku pengemban syiar dan dakwah di jalan kebaikan dan kemaslahatan umat.

Orang semacam itu masih diragukan kualitas keikhlasannya di jalan Allah, hingga dikhawatirkan – sebagaimana Ibnu Muljam yang anarkis – mudah tergelincir ke jalan kesesatan yang dapat mencelakakan dirinya dan orang lain. ***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *