Oleh: Muhammad Aufal Fresky*)
Kita hidup di mana informasi dari segala penjuru dunia ada dalam genggaman. Bermodalkan paket data/wifi dan smartphone semua bisa diakses dengan mudah. Mulai dari berita ekonomi dalam negeri hingga skandal artis Korea bisa diketahui dalam sekejap mata. Ya, kita hidup di era digital, di mana kita berenang di lautan informasi. Hanya saja, di era sekarang, sebagian dari kita kadang gegabah untuk langsung mengenyam informasi yang didapatkan dari media. Bahkan, ada yang sekadar membaca judulnya saja, lalu mengambil kesimpulan. Padahal, informasi yang beredar masih belum jelas kebenarannya. Dalam hal ini, kita dituntut untuk lebih cerdas dalam memilih dan memilah berita mana yang akan dikonsumsi dan disebarkan. Sebab, hal tersebut sangat mempengaruhi cara kita memandang kejadian yang ada di sekitar kita. Jika informasi yang kita dapatkan sepotong-sepotong alias tidak utuh, maka pastinya kita tidak bisa membaca sebuah persoalan dengan jernih.
Selain itu, memang ada sebagian pihak yang dengan sengaja menyebarluaskan informasi palsu alias hoaks untuk kepentingan diri dan golongannya. Dan biasanya yang menjadi korban hoaks adalah mereka yang gegabah mempercayainya dan menceritakan informasi tersebut ke orang-orang sekitarnya. Belum lagi jika hoaks tersebut dibagikan oleh banyak orang. Tak jarang, akibat yang ditimbulkan yaitu timbulnya permusuhan dan perpecahan di tengah masyarakat. Hal itu nantinya bisa menjadi ancaman stabilitas keamanan nasional. Mereka yang menyerap informasi palsu ada yang sadar, ada yang tidak sadar. Mereka yang sadar tapi tetap membagikannya, biasanya memiliki kepentingan tertentu dari berita tersebut, baik kepentingan politik, ekonomi, maupun kenaikan karir misalnya.
Belum lagi sebagian masyarakat kita tidak terlalu memperdulikan masalah verifikasi dan validasi sebuah berita. Mengabaikan sejauh mana kebenaran sebuah berita yang disampaikan oleh media. Seperti halnya yang pernah diutarakan oleh Steve Tesich, penulis untuk majalah The Nation, bahwa saat ini kita hidup di era post-truth. Yaitu keadaan di mana masyarakat tidak terlalu peduli lagi dengan kebenaran. Lebih detailnya lagi Oxford Dictionary mendefinisikan post-truth sebagai sifat yang menggambarkan keadaan dimana fakta objektif tidak dianggap terlalu penting dalam membentuk sebuah opini. Keadaan semacam itu, menurut Filsuf Inggris, Anthony Clifford, Grayling, yang pernah menyampaikan di BBC News (2017), yaitu bahwa era post-truth berawal dari krisis ekonomi global yang buruh pada tahun 2008. Sehingga memunculkan kebencian di tengah publik. Orang-orang jadi sensitif alias sensi kalau membahas soal ekonomi dan politik.
Berita yang dibuat dan didesain seolah-olah benar dan meyakinkan padahal hoaks, akan menimbulkan kecurigaan antar-warga. Bahkan, terjadi konflik sosial yang terus menerus jika al ini tak segera diatasi. Pembodohan publik sengaja diciptakan secara sistematis oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Apalagi, jika penguasa, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI hanya fokus menangkal hoaks yang hanya merugikan Istana. Pasti upaya pencegahan hoaks yang kian masif akan semakin berat. Sebab, bukan tidak mungkin penguasa sengaja menciptakan dan membiarkan hoaks tumbuh subur di tengah masyarakat karena dirasa menguntungkan kekuasaan. Sekali lagi, penguasa tak boleh tebang pilih dalam memberantas penyebaran hoaks. Apalagi payung hukumnya sudah jelas. Publik juga harus dilindungi dari pemberitaan yang penuh dengan kepalsuan dan manipulatif. Di era post-truth, pemerintah wajib proaktif.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, yaitu kenapa sebagian orang justru lebih mempercayai berita bohong? Baiklah, izinkan saya mengutip pernyataan Josep Kahne dan Benjamin (2017) dalam jurnalnya, yang mengatakan bahwa ada dua motivasi yang mempengaruhi seseorang memproses sebuah informasi. Yaitu directional motivation dan accuracy motivation. Melalui directional motivation, seseorang cenderung menerima dengan baik informasi-informasi yang hanya sejalan dengan apa yang sudah diketahui atau dipercayai sebelumnya. Kalau tidak sejalan, dia cenderung tidak menyukainya. Sementara itu, dengan accuracy motivation, seseorang akan menjadi lebih hati-hati dalam menerima informasi. Dia akan menggali dan mengkritik sebuah informasi lebih dalam.
Oleh sebab itu, untuk merespon era post-truth dibutuhkan literasi media. Ringkasnya, literasi media adalah kemampuan mengembankan pemahaman kritis terhadap berita atau informasi yang beredar. Literasi media mendorong kita untuk lebih melek media. Tidak sembarangan dalam menyerap dan menyebarluaskan informasi. Mengecek terlebih dahulu sumber dan kredibilitas media yang jadi rujukan kita. Sebab, di era sekarang, media abal-abal juga bertebaran.
Biasanya tujuannya berbau ekonomi dan politis. Untuk kepentingan individu/kelompok tertentu. Berita bohong dipoles sedemikian rupa dan disajikan ke publik seolah-olah informasi yang valid. Maka dari itu, literasi media menekankan agar kita lebih jeli untuk mengonsumsi berita yang beredar. Lebih terampil dalam mencari, memilah, memilih, dan menyebarkan berita. Selain itu, dalam literasi media juga memberikan panduan tentang bagaimana mengambil kontrol atas informasi yang disediakan oleh media.
Sebab itu, salah satu fokus utama dari literasi media yaitu memberikan pemahaman kepada kita agar lebih jeli dalam melihat batas antara dunia nyata dan dunia yang dikonstruksi media. Dengan begitu, harapannya kita tidak gampang baperan, ego, dan marah ketika menemukan informasi yang sumbernya tidak jelas. Sebab, semuanya telah dilihat dari beragam sudut pandang dan lebih jernih tentunya. Sehingga kita bisa menjadi pribadi yang adil sejak dalam pikiran.
*) Penulis buku ‘Empat Titik Lima Dimensi’