KABARMADURA.ID | PAMEKASAN-Polemik banjir di Pamekasan yang belum menemukan solusi memantik reaksi sejumlah pihak. Rumitnya masalah membuat penanganan jangka panjang belum bisa direalisasikan. Bahkan, sudah terdeteksi ada kerusakan di wilayah resapan air di hulu yang rusak parah.
Menurut Rektor Universitas Madura (Unira) Faisal Estu Yulianto, faktor terjadinya banjir dampak dari cuaca ekstrem yang menyebabkan debit air sungai meningkat. Selain faktor alam, perubahan tata guna lahan di hulu sampai hilir juga sangat berpengaruh.
“Kalau di Pamekasan, sepertinya karena kapasitas sungai kecil, banjir terjadi dan berbarengan dengan air laut pasang, tapi bukan tidak bisa diatasi,” ujar dalam diskusi bertajuk Bincang Kedaruratan Bencana yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Pamekasan (AJP), Jumat (13/1/2023) di Balai Rejo Pamekasan.
Diskusi itu berangkat dari kegelisahan publik yang selama ini menganggap banjir Pamekasan belum teratasi secara komprehensif. Sebagaimana disampaikan Ketua AJP Pamekasan Miftahul Arifin, terjadinya banjir di Pamekasan dipicu rusaknya daerah tangkapan air di hulu.
Bahkan, kata jurnalis dengan sapaan Ipin itu, perlu penanganan secara komprehensif. Saat ini, bencana banjir masih menimbulkan polemik di setiap tahun. Sebab setiap organisasi pemerintah daerah (OPD) tidak jarang saling lempar tanggung jawab saat terjadi masalah.
“Ketika jurnalis menanyakan siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab untuk mengurai masalah banjir, beberapa dinas berkilah bukan tanggungg jawabnya,” ucap Ipin dalam diskusi bertama “Siapa yang Bertanggung Jawab Mengurai Banjir” tersebut.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pamekasan Amin Jabir membenarkan masalah sebenarnya adalah rusaknya wilayah hulu. Terjadi penggundulan lahan di hulu sungai yang memicu terjadinya banjir. Akibatnya, resapan air jadi melemah ketika curah hujan tinggi.
“Persoalannya, daerah tangkapan di hulu sungai rusak, mulai 80 sampai 100 persen. memperbaiki tidak bisa, mengkonservasi tidak bisa. Yang bisa dilakukan, normalisasi, naturalisasi, redemensi, dan rekonstruksi,” ulasnya.
Sejauh ini, hanya normalisasi yang dilakukan, namun juga tidak bisa dilakukan maksimal. Kegiatannya dilakukan insidentil karena anggarannya minim. Sedangkan kegiatannya harus dipihakketigakan, sehingga membuat kebutuhan dana membengkak, sementara hasilnya minim. Endapan sungai yang dikeruk hanya sebagian kecil dan tidak rutin.
“Kalau mau efisien, kita harus punya backhoe (alat berat) sendiri untuk rutin mengeruk endapan dan kegiatannya tidak dipihakketigakan. Karena bakal memakan waktu lama dan anggaran yang cukup besar,” ujar Jabir.
Sementara itu, kegiatan normalisasi dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pamekasan. Anggarannya Rp350 juta per tahun. Kegiatan pengelolaan, operasi, pemeliharaan, rehabilitasi sungai bukan wewenang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pamekasan, namun Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
Tahun 2022 lalu, pengerukan sungai hanya direalisasikan di Sungai Jombang, tepatnya di sekitat Jalan Sinhaji, Pamekasan. Anggarannya sebesar Rp80 juta. Diperoleh dari anggaran operasi pemeliharaan (OP) sungai. Tahun 2023 ini, PUPR Pamekasan akan memasang sheet phile tepian sungai di area Jalan Shinhaji tersebut.
Pewarta: Khoyrul Umam Syarif
Redaktur: Wawan A. Husna