KABAR MADURA | Bupati Sumenep H Achmad Fauzi Wongsojudo mengajak masyarakat untuk memaksimalkan Bulan Ramadan. Misalnya, dengan meningkatkan keimanan dan terus berbuat baik, banyak bersedekah.
Bupati juga mengingatkan agar masyarakat untuk terus melestarikan tradisi yang bagus. Sebab, Ramadan adalah bulan yang penuh kemuliaan dan harus disambut dengan hati gembira.
“Bulan puasa ini penuh dengan keistimewaan. Apalagi momen seperti ini hanya bisa didapatkan sekali dalam setahun, maka perlu dioptimalkan tanpa meninggalkan tradisi yang bagus di masyarakat,” ungkapnya.
Menurutnya, tradisi selama Ramadan melekat di masyarakat Madura, khususnya Sumenep. Bukan hanya sekedar melestarikan, namun jauh dari itu, untuk mendekatkan kepada Sang Pencipta.
Ketika hendak masuk, dan selama Bulan Ramadan, ada banyak tradisi dan budaya yang dijalankan masyarakat. Misalnya, nyekar, nampa (tampaan), malem lekoran serta tradisi lainnya yang kental dengan Bulan Puasa.
Semua tradisi tersebut bukan hanya sebatas kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat. Namun, semua itu adalah upaya masyarakat untuk menjaga keimanan, berbagi, hingga mensucikan diri untuk menggapai rido Ilahi.
Nyekar, merupakan tradisi 1 hari menjelang Bulan Ramadan yang biasanya dilakukan di pagi hari dengan bersama-sama mendoakan pada orang yang sudah meninggal, setelah itu sanak kerabat membersihkan kuburan.
Sementara nampa (tampaan), juga sering dilakukan dengan membuat makanan khas. Misal serabi dan makanan khas lainnya. Biasanya dilakukan pada sore, sehari sebelum Bulan Puasa tiba.
Tak kalah pentinya juga malem lekoran, yang biasanya dilakukan pada sepuluh terakhir Bulan Ramadan. Masyarakat membuat khas makanannya yang diberikan pada musala atau langgar, masjid. Bisanya saling bersedekah, yang dalam bahasa Maduranya disebut dengan ter-ater.
“Ya, itu di antara tradisi di Sumenep dan umumnya di Madura. Utamanya pada saat malem lekoran, masyarakat antusias melakukan salametan (sedekah),” tegas Bupati, Minggu (24/3/2023).
Semua tradisi dan budaya yang sampai saat ini melekat di masyarakat, menurut Budayawan asal Sumenep D. Zawawi Imron, bahwa kebiasaan di Bulan Ramadan sangatlah banyak. Misalnya, nyekar, nampa itu sebenarnya tradisi masyarakat Madura yang sangat bagus. Malem lekoran juga sangat penting dilestarikan.
“Tujuan nyekar, nampa, malem lekoran dalam rangka saling ketemu dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Khusus malem lekoran, sebenarnya untuk menyambut malam Lailatul Qodar,” jelasnya.
Menurutnya, tradisi malem lekoran atau pada hari ganjil di Bulan Ramadan itu, sebenarnya banyak pendapat para ulama, ada yang menyambut turunnya Lailatul Qodar atau ngambek datenga lailatulqadar.
Di Madura, khususnya Sumenep, bahwa turunnya Lailatul Qodar yaitu malem salekor atau malam ke 21 bulan puasa, lalu malem sagemi’ atau malam ke-25, malem pettolekor atau malam 27, bahkan ada yang malem sangalekor atau malam ke 29 ramadan.
Pada waktu malem lekoran, masyarakat berbondong-bondong membuat masakan berbagai jenis yang khas. Lalu diantarkan ke musala, masjid, sanak famili, dan lain sebagainya. Tradisi itu yang disebut ter-ater.
“Itu tradisi yang perlu dilestrikan karena nilainya sangat baik,” kata Celurit Emas tersebut.
Mengapa demikian, lanjut Pak De, sapaan D Zawawi Imron, karena di situlah asalametan atau bersedakah untuk keselamatan dirinya dalam rangka menyambut Lailatul Qodar. Ia menilai, hal itu merupakan tradisi dan budaya yang sangat bagus, hingga perlu dilestarikan.
“Budaya ngambe’ atau menunggu Lailatul Qodar, bukan budaya sebenarnya. Ya, kelihatannya seperti budaya, tetapi itu sebenarnya perhatian terhadap masyarakat, yang kemudian menjadi budaya di Madura, khususnya Sumenep. Harapannya, selain itu perlu banyak berzikir dengan banyak membaca Alquran, iktikaf di dalam masjid. Tujuannya supaya dapat kucuran yang namanya Lialatul Qodar itu,” paparnya.
Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri Yogyakarta itu melanjutkan, budaya ter-ater, asalematan asadeka makanan di Sumenep, itu semacam budaya, yang saat ini tetap kokoh terus dilestarikan, karena sangat bagus juga mendekatkan diri kepada Allah.
“Ada juga yang ater-ater ka tatangghe itu sebenarnya sedekah,” ucapnya.
Budaya atau tradisi malem lekoran dengan asalemat dan ter-ater, menurutnya sangat bagus. “Itu menandakan bahwa orang asalametan ada rizki dari Allah tidak dimakan sendiri, tetapi disedekahkan. Jika diantarkan ke musala, itu bagus tak niat lesbelesen,” kata dia.
Berkenaan dengan turunnya Lailatul Qodar, menurut Pak De, banyak versi para ulama. Ada yang mengatakan turun pada 17 Ramadan bersamaan dengan turunnya Alquran, ada pula yang menyebut turun pada malam 10 hari terakhir di tanggal ganjil.
“Banyak versi, tetapi tradisi atau budaya itu jangan dihilangkan selama itu baik,” tutupnya.
Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar) Sumenep Mohamad Iksan mengatakan, budaya ater-ater adalah budaya leluhur yang perlu dilestarikan, apalagi pada saat Bulan Ramadan.
“Biasanya masyarakat Sumenep membuat makanan khas dan dapat diberikan pada orang lebih sepuh, kemudian sanak famili, dan tetangga-tetangga. Hal itu dalam rangka bersyukur menjelang akhir Ramadan, kemudian dalam rangka ada koordinasi dan komunikasi yang baik antartetangga saling berbagi,” jelasnya.
Pewarta: Imam Mahdi
Redaktur: Fathor Rahman/Hairul Anam