Kisah Tauhed Supratman Kenalkan Madura Melalui Karya: Sempat Diintimidasi karena Puisi

News92 views

KABAR MADURA | Setiap individu memiliki jatah kegagalannya sendiri. Serta punya cara masing-masing dalam menyikapi kegagalan  tersebut. Memilih terpuruk atau bangkit hingga bisa menembus garis batas, seperti yang dilakukan M. Tauhed Supratman, sastrawan asal Pamekasan. Tauhed memang bukan satu-satunya penulis di Pamekasan, namun dalam kiprah menulisnya, dia memiliki visi dan misi tersendiri.

SAFIRA NUR LAILY, PAMEKASAN

Berawal dari angka enam di rapor sekolah pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, membuat Tauhed merasa gagal. Kecewa sudah pasti mengganggu pikiran pria kelahiran 1970 itu. Namun, Tauhed memilih untuk bangkit dan membuang jauh rasa kecewa tersebut. Dirinya langsung  tergerak untuk mendalami dunia tulis menulis.

“Nilai enam di rapor itu saya anggap kegagalan. Sejak saat itu, saya tidak mau belajar Bahasa Indonesia dalam kelas. Tapi justru saya mulai mendalami dunia tulis menulis,” ungkapnya, Kamis (18/7/2024).

Tahun 1989, artikel pertamanya tembus di media nasional. Kala itu, pertama kali pula Tauhed mendapatkan honor Rp40 ribu dari tulisannya. Adanya honor itu menjadi motivasi tersendiri bagi peraih Penghargaan Jatim Harmoni itu untuk terus berkarya. Mulai dari artikel, puisi, cerpen, atau jenis karya sastra lainnya. Sejak saat itulah, ia menyambung hidup melalui karya tulisnya.

Perjalanan pria asal Desa Tanjung, Kecamatan Pademawu itu sebagai penulis tidak mudah. Terlebih ketika pada  tahun 1997. Zaman orde baru masih cukup melekat di tahun tersebut, termasuk sensitivitas negara dengan karya sastra yang berbau kritik. Tauhed yang kala itu baru menginjak status sebagai mahasiswa, mulai menulis puisi yang berisi tentang protes-protes kebijakan yang berlaku. Namun, dirinya acap kali mendapatkan intimidasi dari oknum tertentu, mulai dari ancaman atau intimidasi lainnya.

Baca Juga:  KPU Ingatkan Anak Muda dan Mahasiswa Tidak Sekadar Memilih

Intimidasi tersebut tidak membuat nyali penulis buku “Humanitas Madura” itu surut. Justru, Tauhed tetap konsisten dengan karya-karya sastranya. Bahkan, puisinya yang berjudul Nyanyian dari Kampus, kala itu berhasil tembus di media internasional, yakni Radio Nederland, Belanda.

Konsistensi dalam berkarya terus ia lakoni hingga kini. Beragam penghargaan berhasil diraih, mulai dari tingkat lokal hingga nasional. Seperti berhasil memecahkan rekor Muri Festival Pantun pada tahun 2023 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Meski di usianya yang sudah melebihi separuh abad, dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura (UNIRA) itu tetap menulis. Mulai dari pantun, puisi, artikel, hingga karya ilmiah untuk bahan ajar di kampus. Bahkan tidak jarang, karya-karyanya itu sangat kental dengan Madura, baik penggunaan bahasa ataupun isu sosial yang diangkat tentang Madura.

Baca Juga:  Dilantik Jadi Anggota Dewan, Syukri Tetap Berkomitmen untuk Rakyat

“Kenapa harus Bahasa Madura, agar publik tahu tentang watak asli orang Madura. Kami tidak kejam dan tidak keras, tapi kami tegas. Jika menggunakan Bahasa Madura, saya tidak khawatir buku itu tidak laku, karena disisipkan Bahasa Indonesia juga,” tutur penulis “Onani Copy-Paste” itu.

Redaktur: Sule Sulaiman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *