KABAR MADURA | Gerakan sederhana namun penuh makna; gambaran itulah yang melekat di tarian tradisional Dhânggâ’. Dewasa ini, sedikit masyarakat yang mengetahui tentang keberadaan tarian lokal asli Pamekasan yang menggunakan media perahu itu. Padahal, keberadaannya sarat akan makna kehidupan masyarakat.
SAFIRA NUR LAILY, PAMEKASAN
Tari Dhânggâ’ merupakan akronim dari atandhang magegek (menari dengan gagah). Umumnya, tarian yang dilakoni oleh kaum adam tersebut menggambarkan tentang kehidupan seorang nelayan, mulai dari mempersiapkan perahu, proses penangkapan ikan, hingga kembali ke darat usai berlayar. Semuanya tergambarkan dalam gerak tubuh yang diperankan oleh 10 penari dalam tarian tersebut. Tidak diketahui pasti terkait tahun lahirnya tari Dhânggâ’. Namun, diyakini ada sejak sebelum kemerdekaan.
Ketua Komunitas tari Dhânggâ’ Zainollah mengatakan, ada lima komposisi tari dalam tarian tersebut. Masing-masing komposisi, memiliki nilai filosofis yang cukup mendalam. Pertama, menggambarkan tentang kesiapan perahu nelayan sebelum berlayar. Menurutnya, gerakan itu bermakna segala sesuatu harus dipersiapkan dengan matang.
Komposisi kedua, tarian mendorong perahu yang mengandung makna gotong-royong. Ketiga, gerakan mendayung perahu hingga ke tujuan yang diinginkan untuk menangkap ikan. Pada proses tersebut dibutuhkan ketabahan dan kesabaran serta pantang menyerah. Komposisi keempat, menebar jaring untuk menggambarkan menangkap ikan.
“Filosofinya, masing-masing orang memiliki peran dan tugas sesuai kemampuan. Karena ketika proses penjaringan di laut, ada satu orang yang ditugaskan untuk menjaga ujung jaring ini. Yang lain ada yang bertugas menarik, dan seterusnya,” terangnya, Senin (13/1/2025).
Sementara komposisi kelima, menggambarkan para nelayan pulang ke darat dengan hasil tangkapnya. Pada gambaran ini, gerakan dan musiknya menggambarkan kebahagiaan. Uniknya, lanjut Zainol, musik yang dilantunkan dalam tari Dhânggâ’ berupa akapela, artinya seluruh alunan nadanya langsung berasal dari mulut masing-masing penari tanpa menggunakan alat musik.
“Sebelum menari, salah satu penari lepas melantunkan arti bismillah dalam bahasa Madura yang ditembangkan, sekaligus juga ada prolognya,” tamabahnya.
Sayangnya, tarian unik itu kini tidak seeksis tarian lainnya. Bahkan, terbilang tidak ada regenerasinya. Zainol berharap, tari Dhânggâ’ tetap lestari di Kabupaten Pamekasan melalui peran seluruh masyarakat. Sebab menurutnya, semua masyarakat memiliki hak penuh atas pelestarian seni tari Dhânggâ’ tersebut.
“Sekarang yang tampil (tari Dhânggâ’) rata-rata yang usia senja. Padahal, semua kalangan memiliki tanggungjawab yang sama untuk melestarikan tarian ini. Begitupun pemerintah, yang harus memfasilitasi atau memberikan ruang untuk pelestarian kesenian ini,” tutupnya kepada Kabar Madura. (din)