KABAR MADURA | Syaiful Anam hadir saat karyanya “Demadurologi; Manusia Madura, Kewaktuan, dan Memori” dibedah Komunitas Jurnalis Pamekasan (KJP) dan Forum Komunikasi Mahasiswa (Forkam) Proppo, Selasa (16/1/2024).
Bertempat di Pendopo Ronggosukowati, Syaiful Anam berbagi kisah. Dia mengalami dua perjumpaan terhadap situasi—secara tidak langsung—menggambarkan pola pandang rasial yang penuh sinisme, di satu sisi dan upaya memproduksi pandangan kolonial yang hirarkis di sisi lain.
“Pengalaman pertama saya alami tahun 2019 silam saat menghabiskan waktu sore hari di warung kopi,” ujarnya.
Dijelaskan, terdapat sekelompok orang yang duduk di meja seberang, beberapa dari mereka, ada yang tidak asing sebab sama-sama pelajar yang aktif di dunia aktivisme.
Mereka membicarakan orang-orang Madura sebagai sebuah guyonan, bahkan tidak ragu untuk menertawakannya. Satu hal yang sangat membekas dalam perasaan Syaiful Anam; mereka menyebut bahasa Madura sebagai bahasa planet dan watak orang Madura identik dengan kekerasan.
Bagi Syaiful Anam, pembentukan citra diri orang-orang Madura yang identik dengan kekerasan adalah pandangan kolonial.
Di dalam surat kabar De Java-Post, pada tahun 1912 secara terang-terangan surat kabar kolonial tersebut menguraikan watak orang Madura yang identik dengan kekerasan dan beringas.
“Situasi kedua saya jumpai di dalam buku Kuntowijoyo. Alih-alih berupaya menjernihkan pola pandang terhadap Madura, Kuntowijoyo justru terjebak dalam pola pandang yang hirarkis, yakni menempatkan Madura sebagai entitas sejarah, sosial, dan politik di bawah peradaban Jawa,” ujarnya.
Menurutnya, hirarki sosial semacam itu adalah instrumen yang dilakukan orang-orang kolonial Belanda untuk melakukan legitimasi sosial dan politik di masa penjajahan.
Hal tersebut, tegas Syaiful Anam, dilanggengkan dalam sejumlah peraturan, termasuk di dalam aktivitas pengetahuan.
“Bahkan citra diri semacam itu, juga dilakukan secara tidak langsung oleh Pramoedya Ananta Toer di dalam karya monumentalnya, Bumi Manusia, melalui personifikasi Darsan—yang berperan sebagai orang Madura—yang menjadi kawula Nyai Ontosoroh,” sesal Syaiful Anam.
Atas hal itu, Demadurologi ditulis Syaiful Anam untuk meretas pandangan yang melanggengkan relasi superioritas atas Madura yang diletakkan sebagai objek inferior belaka.
“Kondisi serupa tidak hanya dialami oleh orang Madura. Di setiap setting sosial yang masih mengidam-idamkan kuasa satu kelompok terhadap kelompok lainnya, maka tidak menutup kemungkinan melanggengkan relasi yang timpang,” tukas Syaiful Anam.
Pewarta: Khoyrul Umam Syarif
Redaktur: Sule Sulaiman