KABARMADURA.ID | Menjadi perempuan yang kuat dan mampu menguatkan perempuan lainnya untuk berdaya, perlu modal yang mumpuni, baik niat yang kuat, intelektual yang mapan, dan pelbagai hal lainnya untuk menopang nilai luhur tersebut. Di Pamekasan, ada sosok perempuan dengan potensi dan gerak nyata dalam membantu para perempuan dan anak. Dia adalah Umi Supraptiningsih. Dia kerap memberikan edukasi melalui kegiatan-kegiatan hingga memberikan pendampingan hukum bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
SAFIRA NUR LAILY, PAMEKASAN
Umi Supraptiningsih merupakan seorang dosen ilmu hukum di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Madura. Kesehariannya, memang memiliki tugas dan tanggungjawab mencerdaskan anak bangsa di bangku kuliah. Namun kemampuannya yang super, membuatnya tidak sekadar di lingkungan kampus.
Dia juga mengambil bagian untuk menjadi perempuan yang dapat menginspirasi, mendampingi bahkan tidak jarang memberikan bantuan hukum bagi perempuan dan anak yang mengalami atau menjadi korban kekerasan.
Tekadnya yang kuat untuk memberi dampak bagi perempuan dan anak, membuatnya aktif di berbagai lembaga perlindungan perempuan dan anak. Sejauh ini, dia menjadi mediator di Pengadilan Agama (PA) Pamekasan. Dia juga menjadi Koordinator Divisi Hukum di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak DPPPA dan KB Kabupaten Pamekasan sejak 2009 hingga sekarang.
Selain itu, doktor ilmu hukum itu juga menjadi satgas perlindungan perempuan dan anak Polres Pamekasan sejak 2022 hingga saat ini. Dia juga aktif di Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) Pamekasan.
Dari berbagai wadah ada itu, dia berupaya di antaranya tidak memberikan edukasi seperti memberikan pembinaan karakter kepada para generasi muda, juga melakukan pendampingan dan bantuan hukum kepada para perempuan dan anak yang terlibat atau menjadi korban kekerasan.
“Kegiatan yang saya lakukan itu, sebagai bentuk kolaborasi dari tridharma perguruan tinggi. Pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Semuanya menjadi satu kesatuan,” katanya kepada Kabar Madura, Kamis (30/3/2023).
Umi mengungkapkan, selain mengimplementasi tridharma perguruan tinggi, kegiatan itu menjadi sarananya untuk membantu orang lain khususnya perempuan dan anak. Ihtiarnya itu selaras dengan prinsip hidupnya yang merasa nikmat dan memiliki kepuasan tersendiri jika mampu membantu orang lain.
Dia bercerita, dalam menangani kasus, misalnya perceraian, alumni HMI itu melakukan mediasi dengan pihak terkait untuk menemukan akar permasalahannya. Baru kemudian mencarikan solusi yang terbaik dalam menguraikan persoalan tersebut.
“Alhamdulillah, sejauh ini, Allah memberikan kesempatan bagi kami untuk berbagi ilmu dengan aktif melakukan sosialisasi hingga mengisi seminar mengenai pemberdayaan perempuan dan anak,” ujarnya.
Umi mengungkapkan, dirinya tidak segan untuk melakukan pendampingan hukum bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan hingga kasus yang dialaminya tuntas. Menurutnya, per 2022 saja, dia sudah melakukan pendampingan terhadap perempuan dengan 10 kasus yang masuk ranah hukum dari 25 kasus yang terjadi. Sementara untuk kasus anak, ada 9 kasus. Kesemuanya kasus kekerasan seksual yang masuk ranah hukum.
“Bahkan, pada 2022 lalu, terdapat kasus yang menurut kami sangat mengerikan. Terjadi pada Juli-Agustus. Kasus itu tentang seorang anak perempuan yang terlibat kasus narkoba. Kami dampingi itu,” terang dosen murah senyum itu.
Dia pun mengungkapkan, berdasarkan fakta di lapangan, ketidakberdayaan perempuan menjadi boomerang tersendiri bagi mereka, baik dalam kehidupan berumah tangga maupun kehidupan sosial lainnya. Begitupun terhadap anak yang berurusan dengan hukum. Menurutnya, setiap anak memiliki hak untuk melanjutkan pendidikan dan menggapai cita-citanya.
“Anak yang berurusan dengan hukum ataupun yang mengalami pelecehan seksual, berhak melanjutkan pendidikannya. Makanya, saya kerap kali lakukan pendampingan sosial. Begitupun dengan perempuan yang sudah berumah tangga,” ,” jelas perempuan kelahiran 1967 itu.
Karenanya, dia berpesan kepada para perempuan, agar menjadi perempuan yang mandiri dan berdaya, dengan begitu akan mendapatkan kesetaraan. “Tapi bukan dalam konteks menyayangi. Karena kasus tidak mengenakkan yang terjadi pada perempuan dan anak disebabkan karena tidak berdaya,” tegasnya.
Redaktur: Moh. Hasanuddin