Belajar dari Dua Caleg Gagal yang Warnai Pilkada Pamekasan

Editorial11 views
Banner Iklan

Oleh: Hairul Anam*)

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Pamekasan sudah di depan mata, tepatnya pada 27 November 2024 mendatang. Sebelum penetapan pasangan calon (paslon), beberapa bulan sebelumnya muncul banyak figur, dua di antaranya Moh. Zainal Arifin dan Achmadi.

Kharisma 2

Sejauh ini, pola gerakan yang dibangun keduanya tampak berbeda: Zainal dikesankan sebagai calon bupati yang disuarakan oleh pihak lain (the other), sementara Achmadi getol dengan seribu banner yang menghiasi 13 kecamatan beserta aksi dirinya yang turun ke bawah (turba).

Dari perbedaan tersebut, tentu terdapat kesamaan. Yakni, Zainal dan Achmadi sama-sama calon legislatif (caleg) gagal dalam kontestasi Pemilu 2024. Juga sama-sama petahana (incumbent).

Petahana mestinya bisa berbuat banyak untuk meraup suara rakyat. Selama lima tahun terakhir, petahana punya potensi dan peluang besar dalam menarik hati rakyat melalui program-programnya. Sebut saja saat masa reses, yaitu masa di mana legislatif melakukan kunjungan kerja yang menyentuh langsung konstituennya.

Masa reses, lazimnya dimanfaatkan oleh petahana guna menguatkan ikatan emosional sekaligus penajaman loyalitas tim sukses (timses)-nya. Karena di masa reses, petahana berkesempatan menyerap dan menindaklanjuti aspirasi konstituen, guna memberikan tanggung jawab moral dan politis.

Belum lagi anggaran untuk pokok-pokok pikiran (pokir) dewan. Pokir merupakan aspirasi masyarakat yang diusulkan melalui anggota DPRD. Harapannya, aspirasi tersebut diperjuangkan oleh wakil rakyat dalam pembahasan rancangan APBD. Di Pamekasan, setiap anggota DPRD mendapat anggaran pokir sedikitnya Rp1,5 miliar tiap tahun.

Baca Juga:  Achmad Fauzi Wongsojudo Bersyukur Kembali Dipercaya PDI Perjuangan

Belum lagi sumber dana lainnya. Apa saja? Anda lebih tahu.

Keok di Kandang Sendiri

Meskipun punya kans besar untuk menang dalam Pemilu 2024 karena berstatus petahana dengan berbagai privilege-nya, nyatanya Achmadi dan Zainal tumbang; keduanya keok di kandang sendiri. Masing-masing di Dapil IV (Kadur, Pakong, Pegantenan) dan Dapil V (Larangan, Galis, Pademawu).

Di Dapil IV, berdasarkan hasil rekapitulasi KPU Kabupaten Pamekasan, Achmadi kalah ke dua pesaingnya di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yaitu Halili dan Ainul Yakin. Masing-masing memperoleh 10.575 dan 10.285 suara. Sementara Achmadi mentok di 7.730 suara.

Hal serupa juga dialami Zainal Arifin. Di internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Zainal hanya meraup suara 4.981 suara. Dia kalah telak ke Didit Agus Zakaria (9.698 suara) dan kalah tipis ke Moh. Faridi yang meraih 5.536 suara.

Jika dicermati lebih jauh, kekalahan Zainal lebih menyakitkan ketimbang kekalahan yang dialami Achmadi. Selain suaranya jauh di atas Zainal, Achmadi juga berhadapan dengan sesama caleg petahana. Sementara Zainal ditumbangkan oleh dua politisi yang terbilang pendatang baru.

Baca Juga:  Aktivis Perempuan Menilai Mohammad Sahur Layak Didukung Maju Pilkada Pamekasan

Politisi Tidak Pernah Kecil Hati

Bagi seorang politisi, tidak ada istilah kecil hati. Meraih kekuasaan bagi mereka adalah harga mati. Kalah di satu tempat, mereka akan berjuang mati-matian meraih sukses di tempat atau pada momentum lainnya.

Dalam batas tertentu, teori politik Michel Foucault mendapatkan porsinya bila ditarik pada semangat politik Zainal maupun Achmadi, yakni spirit praktik penundukan yang tak kasat mata.

Tampaknya, Zainal dan Achmadi ingin membuktikan betapa dirinya belum tamat. Tumbang di Dapil sendiri menjadi tantangan untuk menaklukkan Dapil lainnya lewat jalur Pilkada Pamekasan.

Achmadi sudah sebulan terakhir membangun gerakan: menunjukkan tampangnya lewat banner yang didirikan di 13 kecamatan. Belasan akun media sosial (medsos) memunculkan dirinya. Termasuk di beberapa media massa, aksi-aksi sosialnya diberitakan.

Meskipun baru beberapa hari terakhir yang beraksi, Zainal tidak mau kalah dengan Achmadi. Dia langsung muncul di banyak media massa dengan menonjolkan pengalamannya di eksekutif dan legislatif.

Keduanya tentu malu di pemilu, tetapi tetap akan meng-ada saat Pilkada. Pilkada bisa jadi ajang pembuktian bagi keduanya: pemberani atau justru tidak tahu diri?

Atas pertanyaan tersebut, jawaban yang memungkinkan ialah keduanya politisi pemberani. Sebab, tidak menyerah meskipun kalah. Keduanya tetap mencari celah untuk tetap merawat peran dan eksistensinya di ranah kekuasaan. (*)

*) Pemimpin Umum Kabar Madura.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *