Pemilu 2024 Titik Balik Kebangkitan Milenial

Opini211 views
Banner Iklan

Oleh: Sidik, SE., MM

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024. Tanggal yang familiar bagi kawula muda. Tanggal 14 Februari dikenal sebagai valentine day, atau hari kasih sayang. Sulit untuk berasumsi bahwa penentuan waktu pemungutan suara itu hanya kebetulan saja.

Seolah pemilu 2024 memang dihadiahkan untuk anak muda. Mengingat Indonesia sedang dihadapkan dengan era bonus demografi: kondisi di mana populasi penduduk didominasi oleh usia produktif. Karena peran pemuda sangat krusial dalam proses pembangunan demokrasi. Terutama dalam proses pembangunan isu politik.

Pengaruh bonus demografi tidak hanya berimplikasi di sektor ekonomi, tetapi juga di bidang politik. Generasi milenial yang lahir antara tahun 1980-1995 dan generasi Z yang lahir setelah tahun 1996 diprediksi akan kembali mendominasi suara pemilu 2024. Fenomena itu telah terjadi pada pemilu tahun 2019 lalu.

Diketahui, dalam daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2019, sebanyak 17.501.278 jiwa merupakan pemilih berusia 20 tahun. Sedangkan pemilih dengan usia 21-30 tahun mencapai 42.843.792 jiwa. Dengan demikian, keberadaan pemuda sangat berpengrauh terhadap proses pembangunan demokrasi.

Karena itulah, sulit untuk disebut bahwa peletakan jadwal pemungutan suara pada Pemilu 2024 nanti hanya kebetulan saja. Tentu terdapat pesan dan harapan yang tidak disampaikan secara eksplisit oleh penyelenggara pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI).

Berangkat dari perspektif itu, dapat dijelaskan bahwa penyelenggara pemilu membuka ruang atensi untuk kalangan pemuda. Setidaknya, muncul sugesti bahwa pesta demokrasi nanti harus berlangsung damai dengan penuh kasih sayang, sebagaimana pesan yang terkandung dalam valentine day.

Perlakuan khusus kepada kaum milenial di Pemilu 2024 nanti tidaklah berlebihan. Karena tidak bisa dipungkiri, panasnya Pemilu 2019 dipicu oleh bebasnya aktivitas generasi milenial, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Kebebasan berekspresi yang tak dapat dikontrol memicu ketegangan antarpihak.

Atensi penyelenggara pemilu terhadap kaum milenial juga diungkapkan dalam bentuk sistem. Pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 didukung dengan sistem yang ramah dan adaptif terhadap kaum milenal. Kemajuan teknologi dimanfaatkan untuk memperlancar dan meningkatkan kualitas pemilu.

Hal itu dapat dilihat dari proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan oleh KPU. Mayoritas petugas pemutakhiran data pemilih (pantarlih) direkrut dari kalangan milenial. Mereka bertugas melakukan pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Mereka juga dibekali dengan aplikasi e-coklit berbasis android.

Baca Juga:  Rapuhnya Kesadaran dalam Urgensi Pendidikan

Faktanya, mayoritas pengguna android adalah generasi milenial dan generasi Z. Tentu mereka lebih akrab dengan android dan teknologi lainnya dibanding kelompok lanjut usia (lansia). Karena itulah tidak berlebihan bila kaum milenial dan generasi Z memerlukan atensi khusus.

Namun demikian, kelebihan kaum milenal itu perlu diimbangi dengan sistem pengawasan yang sesuai. Tujuannya agar muncul sebuah kontrol. Sehingga, meski politik berjalan dinamis, namun tetap terukur. Setidaknya, ada sikap dan suasana diferensiasi saat menghadapi pemilih dari unsur milenial.

Hal itu akan menjadi tugas selanjutnya bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Bahwa mengawasi pelaksanaan pemilu harus tetap memperhatikan asas keramahan dan persuasi. Terutama pada pemuda yang dalam dirinya mengalir darah muda yang kritis dan sensitif. Karena tidak hanya pemilih, sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemilu juga didominasi oleh pemuda.

Dalam konteks pemilu, salah satu elemen terpenting adalah pengawasan. Proses rekapitulasi suara yang berjenjang, mulai dari tempat pemungutan suara (TPS), tingkat kelurahan, hingga ke tingkat nasional perlu diawasi. Penggunaan teknologi akan dapat mempermudah saat mengatasi permasalahan pemilu.

Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, potensi manipulasi  biasanya terjadi pada saat penghitungan surat suara secara manual. Itu sebabnya dibutuhkan instrumen teknologi elektronik untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya manipulasi. Di saat yang bersamaan, sistem pengawasan juga harus mutakhir.

Dengan demikian, secara perlahan bangsa Indonesia diantarkan pada tatanan kehidupan yang efektif dan efisien dengan partisipasi teknologi. Sehingga pada pemilu berikutnya, sistem pemilu mampu diperbaharui dari semua sisi. Barangkali juga mampu melahirkan gagasan baru tentang teknis pemungutan suara berbasis teknologi digital. Misalnya dengan sistem e-voting.

Jika system itu terjadi, lagi-lagi kaum milenial dan generasi Z akan menjadi pemeran utama. Maka peran kaum pemuda akan semakin krusial. Eksistensi pemuda pun akan lebih diperhitungkan. Sehingga, atensi lembaga penyelanggara pemilu kepada pemuda juga akan ditingkatkan. Karena tanpa partisipasi pemuda, semua inovasi itu akan sia-sia.

Baca Juga:  Nirwan Dewanto Menyoal Sastra Takhayul

Fakta lainnya, kaum milenal tidak hanya mendominasi di unsur pemilih dan penyelenggara pemilu saja, tetapi juga meluas hingga ke unsur peserta pemilu. Karena hampir semua partai politik (parpol) peserta pemilu mengampanyekan keberpihakan mereka kepada pemuda dan pentingnya memfasilitasi serta mewadahi kepentingan kaum milenial.

Kaum milenial lebih peka terhadap pendidikan politik. Mereka lebih intens mendengar edukasi politik dibanding kelompok lansia. Bahkan, terhadap teknis pemungutan suara pun lebih cepat dipahami oleh kaum milenial. Karena pada saat hari pemilihan nanti, akan ada lima unsur pemimpin lembaga negara yang harus dipilih.

Di unsur eksekutif, akan ada calon presiden dan calon wakil presiden. Di unsur legislatif, akan ada calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), calon Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) tingkat provinsi dan kabupaten kota. Semuanya dipilih di hari yang sama.

Mereka akan memilih putra-putri terbaik bangsa sebagai pemimpin masa depan. Selektif dalam memilih pemimpin itu penting. Karena bila salah memilih, dampaknya akan dirasakan dalam lima tahun ke depan. Tentu pengaruhnya akan sangat dirasakan oleh generasi milenial dan generasi Z.

Penduduk usia produktif lebih mudah memahami bahwa keterlibatan mereka dalam pemilu merupakan wujud nyata penerapan demokrasi di Indonesia. Dengan begitu, menegaskan bahwa kedaulatan negara tetap berada di tangan rakyat dan mayoritas rakyat Indonesia adalah dari golongan mereka.

Namun terlepas dari itu semua, jika didasarkan pada teori qonditio sine qua non, maka pemilu yang demokratis menjadi keniscayaan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih. Pemilu harus dimaknai sebagai prosedur untuk mencapai demokrasi. Karena melalui pemilu terjadi proses pemindahan kedaulatan rakyat kepada kandidat tertentu untuk menduduki jabatan-jabatan politik.

Semua pihak, baik dari golongan tua maupun golongan muda harus mengerti, bahwa pemilu merupakan pilar demokrasi yang akan menopang terwujudnya pemerintahan yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Untuk itu, pemilu harus terselenggara secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017.

*) Penulis: Bendahara PC GP Ansor Sampang dan pengurus IKA PMII Sampang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *