Ø Oleh Chudori Sukra
Ø Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh ponpes Riyadlul Fikar, Serang, Banten.
Rocky Gerung, seorang dosen filsafat Universitas Indonesia (UI) sering memakai kata “dungu” untuk menjuluki Presiden Jokowi. Tenaga ahli staf kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin mengilustrasikan kata “dungu” sebagai “goblok” atau “tolol”, dan itu adalah upaya provokasi yang bersifat menghasut masyarakat untuk turut-serta memaki dan memusuhi Bapak Presiden RI.
Semestinya, kata “dungu” itu kita sesuaikan dalam konteks apa, dan siapa yang mengucapkannya. Bagi seorang Ngabalin yang lahir di Papua Barat (Fakfak), lalu dibesarkan di tanah Maluku, kata “dungu” dianggap lebih serius dan memojokkan sang presiden melebihi kata “bodoh”. Saya sendiri kelahiran Banten sebagai etnik Sunda. Kata “brengsek” dianggap kasar dan tidak etis bila ditujukan kepada saudara-kerabat saya sesama warga Sunda maupun Jawa Banten. Tetapi, ketika kata itu dipakai oleh orang Batak tetangga kiri saya, “Ah, kau brengsek sekali, Bung.” Saya kok tidak merasa tersinggung dengan frase yang sama, jika pihak lain yang mengucapkannya.
Rocky Gerung memakai kata “dungu” untuk mengkritik kinerja Presiden Jokowi yang dianggap loyo dan lembek. Rocky sendiri kelahiran tanah Manado, kemudian menjadi dosen filsafat di UI yang pergaulannya sudah “sangat Jakarta”. Bahkan, dialek yang dipakainya pun sudah Jakarta banget, sebagaimana dialek yang dipakai Ngabalin dalam konteks saat ini. Lalu, persoalannya, bagaimana kedua tokoh itu memaknai dan menafsirkan kata “dungu’ yang sering dipakai Rocky Gerung. Mari kita sama-sama berpikir dengan akal sehat.
Orang Jawa bisa mengatakan, selalu saja terjadi padu antara Ngabalin dan Rocky, karena kata “padu” berarti ribut atau tengkar. Sementara dalam bahasa Indonesia, kata “padu” mengandung arti kompak, akrab, atau bersatu-padu. Abdullah Gymnastiat (Aa Gym) selaku penceramah juga tak merasa keberatan disebut “bodoh”, karena kata tersebut bagi orang Sunda dapat berarti “lugu”, sebagaimana tokoh si Kabayan yang identik dengan sikap polos dan lugu.
Jadi, pengertian “dungu” dalam pemaknaan orang Manado jelas tidak sama dengan orang Fakfak (Papua), maupun Maluku yang lebih cenderung mengacu dari pemaknaan melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai”bebal” atau “otak tumpul”.
Di sinilah fungsi berkomunikasi dengan media bahasa, yang tak lepas dari bayangan imajinasi pemakainya. Apakah beda makna segan dengan tak segan? Misalnya, saya merasa segan padanya, atau saya merasa tak segan padanya. Yang manakah dari keduanya itu yang benar? Tapi sudahlah, usah khawatir soal bahasa… ataukah yang benar, “tak usah” khawatir dengan bahasa?
Di sisi lain, kebenaran makna kata bergantung pada konteks kalimat yang dibacanya. “Orangnya begitu mengagumkan, maka saya segan kepadanya.” Makna segan dalam kalimat itu berarti suka atau senang kepadanya. Bedakan dengan kalimat berikut ini: “Lagi-lagi ia muncul untuk ke sekian kalinya, saya amat segan sehingga malas menyapanya.”
Bunyi kata yang sama, bisa bermakna beda, bahkan bermakna sebaliknya, tergantung dari konteks kalimat yang dipakainya. Bahkan, kesalahan satu kalimat pun bisa melebur pada kebenaran satu paragraf atau satu bab dari suatu karya tulis. Di sinilah kita mulai membahas tentang pesan dan amanat dari suatu karya sastra. Orang-orang yang melek sastra, mesti akan mengulangi bacaan yang belum jelas dimengerti, sampai ia menemukan pesan moral (moral massage) yang mencakup keseluruhan isi, yang lebih mendekati maksud dan motif dari penulisnya. Apa yang dimaksudkan Hafis Azhari dalam novelnya, tentu tak bisa dipaksakan sama dengan motif yang disampaikan Bandung Mawardi, Eka Kurniawan, Ayu Utami, maupun Putu Fajar Arcana yang berasal dari suku Bali.
Dalam novel “Orang-orang Oetimu” (Felix Nessi) kita pun menemukan keliaran imajinasi penulisnya yang tak peduli urusan pembakuan bahasa. Karenanya, tak ada kekakuan dalam penyampaian kata atau kalimat pada novel tersebut. Seakan tak ada urusan dengan distorsi bahasa yang tak sesuai dengan kenyataan. Yang penting, seberapa banyak dan seberapa suka orang menggunakan kata atau diksi yang digagasnya.
Bahasa musiman
Bukankah kehidupan terus berproses, termasuk penentuan setting lokasi dan tempat dalam suatu karya sastra. Meskipun walikota bersikukuh menggusur dan merelokasi suatu wilayah, tetap saja “Dataran Tortilla” (John Steinbeck) maupun “Lorong Midaq” (Naguib Mahfouz) tetap abadi sebagai nama tempat. Wilayah kampung Dukuh tidak identik banyak pohon dukuhnya, begitupun kampung Rambutan atau Kaduhejo.
Kampung Ciwaduk, meski sekarang sudah penuh pemukiman di sekitar itu, tak ada waduknya sama sekali, tetapi tetap saja ia eksis sebagai Ciwaduk dalam novel Perasaan Orang Banten. Juga tak ada masalah. Sebab, suatu karya sastra bergerak di wilayah imajinasi yang melanglang buana melampaui batas-batas ruang dan waktu.
Permainan bahasa ini kadang terasa lucu, bahkan menggelikan. Tetapi, kalau sudah menjadi kesepakatan umum (banyak pemakainya), apa mau dikata, biar ngaco sekalipun. Lihat saja nama-nama menu makanan yang semakin hari semakin menggelikan, seperti sengaja mempermainkan cara berpikir kebanyakan orang. Bukankah kita pernah mendengar adanya kamus khusus untuk para waria, dengan menampilkan ratusan bahkan ribuan istilah-istilah aneh yang menjadi kegemaran dan kesukaan kaum waria?
Belum lagi, jika kita memakai kata turun-naik, keluar-masuk, pulang-pergi. Bukankah semua logika pemakaian itu tebalik? Sebab, mestinya kita naik dulu, baru kemudian turun. Mestinya kita masuk dulu, baru kemudian keluar. Dan mestinya kita pergi dulu, baru kemudian pulang.
Perihal bahasa musiman, dua kubu di dunia politik baru saja memelopori dua istilah yang kemudian lapuk dimakan usia, dan lekang oleh pasang surutnya zaman, yakni “kampret” dan “cebong”. Dua kata yang berasal dari serapan bahasa daerah itu, kemudian mengindonesia, bahkan menciptakan dua “pobi” yang saling berlawanan. Stigma cebong dan kampret tak ubahnya dengan stigmata PKI yang selama puluhan tahun menciptakan kepobian, dan terus-menerus dipelihara oleh kekuasaan militerisme Orde Baru.
Banyak penulis karya sastra yang terhanyut, serta mudah tergoda dalam pemakaian bahasa yang ngetren sesaat itu. Tetapi ketahuilah, seorang penulis sastra yang baik, tak mungkin terpengaruh oleh pasang-surut pemakaian dan permainan bahasa semacam itu.
Di belahan asia lain, pernah kita mendengar seorang anak balita beragama Sinto (Jepang), yang diberi nama “Allah” sejak kelahirannya. Namun kemudian, pihak orang tua segera mengubah nama tersebut setelah mengetahui bahwa kata “Allah” adalah Tuhannya orang Islam dan beberapa agama monotheis lainnya.
Wilayah bahasa memang tak bisa dipisahkan dengan adat tradisi dan lokalitas pemakainya, hingga seorang Eskimo memiliki 50 kata lebih untuk menamakan “salju” ketimbang kita yang hanya memiliki beberapa kata saja. Tentu saja orang Sunda kesulitan untuk merunut sejarahnya bagaimana kata “jelek” bisa disebut “goreng”, dan bagaimana pula jumlah sembilan itu bisa dikatakan “salapan” yang mirip dengan delapan. Belum lagi kata “gedang” yang berarti pepaya, padahal dalam bahasa Jawa berarti “pisang”. Lalu, dari mana asal muasalnya hingga orang Jawa Banten mengistilahkan kata sayur dengan sebutan “jangan”, dan seterusnya dan sebagainya.
Perbedaan makna
Dalam bahasa Indonesia, banyak sekali perbendaharaan kata yang keliru ketika diterjemahkan dari bahasa Arab. Itu bukan soal distorsi melainkan kata yang baku dan tertulis di dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Misalnya, kata “al-haq” yang berarti “kebenaran” bukan hak milik, juga bukan hak sepatu. Begitupun dengan kata “alim” atau “arif” yang berarti “orang pintar” dan “orang saleh”. Sedangkan, kita mengartikannya sebagai santun atau pendiam. Ketika kita bicara “makar” dalam bahasa Arab, ia tak punya konotasi negatif, karena berarti “membuat rencana atau agenda”, tetapi dalam bahasa Indonesia berkonotasi sangat negatif, karena mengandung arti “tindak subversif yang menentang kekuasaan”. Begitupun kata “fitnah” yang berkonotasi sangat negatif, padahal dalam istilah Arab ia mengandung arti “ujian” atau “cobaan hidup”.
Sudah cukup lama para pemikir dan ahli bahasa dibikin pusing oleh kenyataan betapa logika bahasa seringkali dipermainkan untuk kepentingan sesaat, yang kemudian terhempas pemakaiannya oleh perjalanan waktu. Mending kalau yang memakainya sekelas penjual asongan atau para pedagang di emperan jalan. Coba kalau distorsi makna itu dikembang-biakkan oleh politisi atau penguasa yang gaungnya bisa menjangkau jutaan pendengar.
Kita juga mengenal istilah Orde Baru, suatu era di mana rezim militerisme berkuasa secara otoriter. Dalam opini saya di harian ini, “Membangun Akal Sehat” (24 April 2018), dijelaskan bagaimana pemerintahan Atut Chosiyah ikut berakrobat dengan peristilahan kata “Banten Lama” yang identik dengan usang dan kuno. Jika pemerintah lokal menggunakan kata “lama”, lalu di manakah yang disebut “Banten Baru”.
Kita boleh-boleh saja menikmati makanan daerah berupa Keong Atut maupun Keong Tutut di emperan trotoar jalan. Tetapi, bagaimana jenis makanan itu bisa merakyat, memasyarakat atau mengindonesia, jika Presiden Jokowi merasa segan untuk mampir dan menikmatinya? Mungkin saja Rocky Gerung atau Ali Mochtar Ngabalin bisa menikmati Keong Tutut di warung Pak Salim Kumis. Tetapi, senikmat apa makanan itu bagi selera mulut orang Indonesia, dan bukan semata-mata bagi orang Manado, Papua maupun Maluku saja?
Ketika Rocky dan Ngabalin berpadu sambil menikmati Keong Tutut, Presiden Jokowi boleh jadi akan mengartikan keduanya sedang bertengkar dan berantem. Sebab, sekali lagi, menurut orang Jawa, pengertian “berpadu” bukanlah bersatu-padu melainkan bertengkar sengit dan membuat kegaduhan. ***