Oleh Chudori Sukra *
“Manusia hiper-modern memiliki konsep tentang orang terkaya yang sanggup membeli dunia, tetapi dalam ajaran Islam terdapat prinsip ‘qanaah’ yang dimiliki seorang muslim yang baik, ketika seluruh dunia justru tidak sanggup membeli dirinya.” (Hafis Azhari, penulis novel Perasaan Orang Banten)
Riwayat hidup Nabi Sulaiman merupakan simbol megahnya kekuasaan dan kekayaan duniawi, baik bagi umat Islam, Kristen maupun Yahudi. Ia memiliki kelebihan di antara nabi-nabi lainnya, khususnya dalam membangun singgasana kerajaannya, bahkan diperbantukan pula oleh kalangan jin yang tunduk pada petuah dan perintahnya.
Diceritakan di dalam Alquran, bahwa salah satu raja jin (Jin Ifrit) pernah menawarkan Nabi Suliaman untuk memindahkan singgasana Ratu Saba (Bilqis). Itu artinya, bahwa Jin Ifrit pun mau diperbantukan untuk suatu urusan, hingga dalam suatu riwayat, bangsa jin merasa tertipu oleh Nabi Sulaiman yang wafat secara husnul khatimah sebagai seorang nabi dan kekasih Allah.
Dalam cerpen “Kunjungan Iblis Mefisto” karya Hafis Azhari (radarntt.co) sosok Jin Ifrit dipersonifikasi ke dalam tokoh Iblis Mefisto. Penokohan itu identik dengan karya Wolfgang Goethe (sastrawan Jerman) mengenai kisah Faust yang sebenarnya bicara mengenai keabadian “takhayul” yang digugat Goethe, dan seringkali marak di negeri-negeri Eropa sejak abad pertengahan lalu.
Inti dari kisah yang disampaikan, perihal seorang intelektual dan ilmuwan, yang berambisi keras merebut kembali pohon larangan Firdaus yang pernah lepas dari tangan Nabi Adam. Buah terlarang itu dapat pula ditafsirkan sebagai “kunci pengetahuan” tentang kebaikan dan keburukan. Jadi, hanya Tuhan yang sebenarnya berdaulat penuh memegang kunci rahasia tersebut. Tetapi, karena tabiat dan watak Doktor Faust yang ambisius, serta menyadari kemampuan intelektualnya yang terbatas, dia merelakan diri untuk menjual jiwanya pada Iblis Mefisto.
Keduanya menyetujui kesepakatan perjanjian, bahwa ketika wafat kelak, Doktor Faust akan memasrahkan jiwanya digadaikan pada Iblis Mefisto. Hal ini pun tercermin secara lugas dalam opini saya di kompas.id bertajuk, “Sastra, Takhayul, dan Kebuntuan Ideologis (20 Maret 2022).
Tokoh Jin Ifrit atau Iblis Mesfisto yang digambarkan Hafis Azhari lebih mengenai sasaran kepada sosok “Aku” yang meraih kesuksesan dan pernah melahirkan karya-karya sastra di era milenial ini. Suatu hari, pada waktu sepertiga malam tiba-tiba Jin Ifrit nongol di hadapannya, atas perintah atasannya, bahwa ia disuruh mengambil “bakat” yang dimiliki sang penulis.
Ingatan penulis setback ke masa lalu, ketika seorang temannya pernah mengajak menemui seorang dukun yang menyebut dirinya “kiai” atau “orang pintar” di kaki Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Atas perintah bosnya, Jin Ifrit disuruh mengembalikan “bakat” yang pernah diberinya ke dalam suatu kotak yang dipikulnya di atas pundak. Konon, di dalam kotak itu, telah banyak bakat-bakat terkumpul dari orang-orang yang pernah diberikan kepada manusia di era milenial ini.
“Bukan cuma kepada penulis sepertimu, tapi juga banyak pengusaha dan pejabat, termasuk walikota dan gubernur yang sudah memenuhi syarat-syarat yang kami tetapkan untuk mengabulkan segala keinginan dan cita-citanya.”
“Juga gubernur dan walikota yang tertangkap KPK dan dipenjarakan?” tanya sang tokoh.
“Itu soal lain!” bentak Jin Ifrit, “Tugas kami hanyalah memuluskan apa-apa yang menjadi obsesi dan ambisi mereka.”
“Walaupun tidak berkah?” protes sang tokoh.
“Diam! Aku enggak mengerti kata-kata itu!”
Sang penulis sengaja mengulur-ulur waktu, agar sudi kiranya menunggu selama beberapa waktu, sampai ia mau mengembalikan bakat yang dimilikinya. Ia menulis ending untuk cerpen terakhirnya, namun Jin Ifrit akhirnya semaput dan nyaris pingsan ketika membaca ending dari cerpen yang ditulisnya itu.
Sebab, ia menginginkan ending ceritanya absurd dan chaos, agar pembaca tidak sampai pada pemikiran tentang keadilan Tuhan. Namun, sang penulis selalu saja menulis ending cerita yang membangkitkan semangat pada perbaikan, kerukunan dan kemaslahatan.
Sang penulis mengamati kotak misterius itu, lalu menepuk-nepuknya. Ia mengangkat kotak itu dengan membaca basmalah, lalu menaruhnya di pundak Jin Ifrit. Namun, dengan memuat kisah yang mengagungkan kebesaran Tuhan, Jin Ifrit tidak sanggup lagi mengangkat peti berisikan bakat sang penulis, hingga akhirnya ia terhuyung-huyung dan tersungkur jatuh ke tanah.
“Kenapa?” tanya sang penulis.
Dengan suara lesu terengah-engah, ia menjawab sambil mengangkat kedua tangannya, “Aku tak sanggup… aku tak kuat lagi… lebih baik kau ambil kembali bakatmu itu… ini bukan pekerjaan mudah dan ringan… ini berat sekali!!”
“Bisa kau sampaikan, kenapa tidak kuat? Bukankah ini pekerjaanmu sehari-hari?”
Suaranya merintih, bahkan tangannya keram tak sanggup lagi mengangkat pena dan secarik kertas yang harus ditandatangani.
“Aku tahu ini pekerjaanku sehari-hari… tapi kali ini, setelah aku memikirkan ending dari cerpen terakhirmu itu, tiba-tiba aku kehilangan tenaga sama sekali… tulang-tulangku seperti remuk semuanya… aduh, ampuni aku, maafkan atas perbuatanku selama ini….”
“Bukankah pekerjaan menjemput bakat ini sudah biasa kau nikmati sehari-hari?”
“Tapi, kali ini aku tak bisa menikmatinya lagi, ampuni aku… maafkan aku…!”
Ia membuka kotak itu, menyuruh sang untuk segera mengambil isinya, lalu ia terbirit-birit meninggalkan rumah dengan kotak kosong di tangannya. ***
*Penulis adalah pengasuh Ponpes Riyadul Fikar, juga anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI).