Guru Besar di Bawah Cengkeraman Jurnal Predator

Opini72 views

Oleh: M. Tauhed Supratman

 

Membaca koran Kompas, edisi Kamis, 17 Oktober 2024, halaman 8 dengan judul “Guru Besar Indonesia Terjerat Jurnal Predator” sangat mengejutkan. Fenomena guru besar di bawah cengkeraman jurnal predator menjadi masalah serius di dunia akademik, terutama dalam konteks peningkatan kualitas dan kredibilitas ilmiah. Gelar “guru besar” merupakan puncak dari pencapaian akademik seorang dosen, menandakan kompetensi, otoritas, dan kontribusi signifikan dalam bidangnya. Namun, dengan meningkatnya tekanan untuk publikasi cepat dalam mengejar kenaikan pangkat dan reputasi, banyak akademisi tergoda untuk mengorbankan kualitas demi kuantitas—masuk ke perangkap jurnal predator. 

Fenomena guru besar di bawah cengkeraman jurnal predator memang merupakan ancaman nyata bagi dunia akademik. Jurnal predator merusak esensi dari publikasi ilmiah yang sejatinya bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan berdasarkan penelitian yang valid dan terverifikasi. Namun, tekanan untuk terus-menerus mempublikasikan karya ilmiah, terutama demi meraih kenaikan pangkat dan mendapatkan pengakuan, mendorong sebagian guru besar ke arah pilihan yang tidak etis. 

Dalam konteks ini, beberapa hal perlu diperhatikan. Pertama, guru besar diharapkan menjadi pilar moral dan intelektual dalam masyarakat akademik. Mereka tidak hanya dituntut untuk memberikan sumbangsih nyata dalam pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menjadi panutan bagi generasi akademisi muda. Publikasi ilmiah di jurnal predator tentu merusak citra ini, karena tidak melalui proses seleksi ketat yang sesuai dengan standar ilmiah. 

Kedua, ketergantungan pada publikasi cepat tanpa memikirkan kualitas telah menciptakan ekosistem yang mendukung berkembangnya jurnal predator. Hal ini menunjukkan adanya celah dalam kebijakan pendidikan tinggi di berbagai negara. Banyak institusi pendidikan yang cenderung hanya menilai dosen berdasarkan jumlah publikasi, tanpa mempertimbangkan kualitas jurnal di mana karya-karya tersebut diterbitkan. Kebijakan semacam ini mendorong akademisi untuk mencari jalan pintas dan mengabaikan etika ilmiah. 

Ketiga, dalam mengejar prestise akademik, banyak guru besar kurang memperhatikan dampak jangka panjang dari publikasi di jurnal predator terhadap reputasi dan kredibilitas mereka sendiri. Dalam jangka pendek, mungkin publikasi di jurnal predator terlihat menguntungkan, karena mereka menerima artikel dengan cepat dan memudahkan proses penerbitan. Namun, dalam jangka panjang, publikasi di jurnal predator dapat menyebabkan keraguan terhadap integritas dan kompetensi akademik seorang guru besar. 

Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Lembaga pendidikan tinggi harus lebih memperhatikan literasi ilmiah, tidak hanya bagi dosen junior, tetapi juga bagi guru besar. Pelatihan tentang cara mengenali jurnal predator dan pentingnya publikasi di jurnal bereputasi harus menjadi bagian dari strategi pengembangan akademik. Selain itu, kebijakan yang lebih menekankan pada kualitas penelitian dan bukan sekadar jumlah publikasi perlu segera diterapkan. 

Pada akhirnya, gelar guru besar seharusnya tetap identik dengan keunggulan ilmiah dan integritas akademik. Publikasi ilmiah harus menjadi sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang valid, bukan sekadar alat untuk meraih pangkat atau pengakuan cepat.

 

Jurnal Predator dan Ekosistem Ilmiah 

Jurnal predator adalah publikasi yang tidak mengikuti standar peer review yang ketat, tetapi mengklaim sebagai jurnal ilmiah. Mereka sering kali hanya mengejar keuntungan finansial dengan meminta biaya penerbitan tinggi tanpa memberikan proses evaluasi ilmiah yang memadai. Dalam konteks akademik, jurnal-jurnal ini memanfaatkan kelemahan dan tekanan sistem pendidikan tinggi, terutama terkait kebijakan yang mendorong publish or perish—sebuah budaya di mana dosen dituntut untuk terus-menerus mempublikasikan penelitian mereka agar kariernya terus meningkat. 

Jurnal predator merupakan bentuk eksploitasi dalam dunia akademik yang berbahaya karena merusak integritas ilmiah. Mereka memanfaatkan kelemahan dalam sistem publikasi akademik dengan berpura-pura sebagai jurnal ilmiah yang sah dan dapat dipercaya, padahal tidak mengikuti standar peer review yang ketat. Dalam banyak kasus, jurnal predator hanya mengejar keuntungan finansial dengan meminta biaya penerbitan yang tinggi, tanpa memberikan evaluasi yang memadai terhadap kualitas penelitian yang diajukan. Akibatnya, publikasi di jurnal-jurnal ini cenderung tidak terjamin validitasnya dan sering kali tidak berkontribusi positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. 

Dalam konteks sistem pendidikan tinggi saat ini, jurnal predator berkembang subur karena tekanan yang dihadapi oleh para akademisi, terutama dalam kerangka kebijakan yang mendukung budaya “publish or perish.” Dosen dan peneliti sering kali dihadapkan pada tuntutan untuk terus-menerus mempublikasikan penelitian agar dapat mempertahankan posisi mereka, meraih promosi, atau mendapatkan hibah penelitian. Di banyak negara, produktivitas akademik diukur berdasarkan kuantitas publikasi, bukan kualitas, yang mendorong akademisi untuk mencari cara termudah dan tercepat untuk memenuhi target tersebut. 

Budaya “publish or perish” menciptakan situasi di mana akademisi merasa terdesak untuk mempublikasikan karya mereka sesering mungkin, dan di sinilah jurnal predator hadir dan menawarkan jalan pintas. Mereka menjanjikan proses penerbitan yang cepat dan mudah, sering kali tanpa pengawasan ketat yang seharusnya dilakukan oleh para sejawat. Meski tampaknya menguntungkan dalam jangka pendek, publikasi di jurnal predator memiliki konsekuensi serius, karena tidak hanya merugikan reputasi akademisi yang terlibat, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap seluruh sistem publikasi ilmiah. 

Selain itu, keberadaan jurnal predator juga memperparah masalah kesenjangan dalam akses terhadap publikasi ilmiah. Akademisi dari negara berkembang, yang mungkin memiliki akses terbatas ke jurnal-jurnal bereputasi tinggi, sering kali menjadi target jurnal predator. Mereka membayar biaya yang tinggi hanya untuk mempublikasikan penelitian di jurnal yang sebenarnya tidak memiliki kredibilitas ilmiah. 

Untuk mengatasi masalah ini, ada kebutuhan mendesak untuk reformasi dalam sistem penilaian akademik. Alih-alih hanya berfokus pada kuantitas publikasi, sistem penilaian harus mempertimbangkan kualitas, dampak, dan relevansi penelitian. Selain itu, universitas dan lembaga pendidikan tinggi perlu meningkatkan literasi akademik di kalangan dosen dan peneliti untuk membantu mereka mengenali dan menghindari jebakan jurnal predator. Pendekatan ini tidak hanya akan melindungi integritas ilmiah, tetapi juga membantu menjaga standar tinggi dalam penelitian akademik di seluruh dunia.

 

Dampak terhadap Guru Besar

Guru besar yang terjerat dalam jaringan jurnal predator sering kali menghadapi dua risiko utama. Pertama menurunnya kredibilitas ilmiah. Ketika karya-karya ilmiah dipublikasikan di jurnal predator, tidak hanya kualitas karya itu sendiri yang dipertanyakan, tetapi juga reputasi guru besar tersebut. Di era di mana rekam jejak digital mudah dilacak, publikasi di jurnal yang meragukan bisa mencoreng citra seorang akademisi dan merusak kredibilitas institusi tempat ia bernaung. 

Ketika karya-karya ilmiah dipublikasikan di jurnal predator, dampaknya jauh lebih dalam daripada sekadar mempertanyakan kualitas penelitian tersebut. Publikasi di jurnal predator menimbulkan risiko besar terhadap reputasi pribadi seorang guru besar dan secara tidak langsung, mempengaruhi citra institusi akademik tempat mereka bernaung. Di era digital saat ini, jejak akademik seseorang dapat dengan mudah dilacak melalui berbagai platform, seperti Google Scholar, Scopus, atau Research Gate. Ketika publikasi seseorang muncul di jurnal yang meragukan, hal ini tidak hanya mengundang kecurigaan di kalangan rekan sejawat, tetapi juga menciptakan preseden buruk dalam dunia akademik yang lebih luas. 

Bagi seorang guru besar yang diakui sebagai otoritas di bidangnya, publikasi di jurnal predator bisa dipandang sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab dan merusak integritas ilmiah. Hal ini memunculkan persepsi bahwa mereka lebih mementingkan jumlah publikasi daripada substansi dan kualitas penelitian yang mereka hasilkan. Padahal, dalam akademik, publikasi tidak hanya sekadar jumlah, tetapi merupakan cerminan dari kontribusi nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. 

Selain itu, publikasi di jurnal predator juga merusak reputasi institusi yang menaungi mereka. Universitas dan lembaga pendidikan tinggi biasanya dikenal melalui reputasi akademiknya, dan bagian penting dari reputasi tersebut adalah kualitas penelitian yang dihasilkan oleh para dosen dan penelitinya. Ketika seorang guru besar yang menjadi panutan akademik mempublikasikan karyanya di tempat yang tidak kredibel, hal ini dapat menciptakan pandangan negatif terhadap institusi tersebut. Dalam jangka panjang, reputasi akademik institusi bisa terpengaruh, bahkan mengganggu peringkatnya di kancah internasional. 

Institusi pendidikan tinggi yang ingin menjaga reputasinya harus proaktif dalam mendukung dosen mereka untuk mempublikasikan karya di jurnal yang bereputasi. Mereka perlu menyediakan sumber daya yang memadai untuk membantu akademisi memilih jurnal yang tepat dan mendukung proses penelitian yang berkualitas. Selain itu, evaluasi publikasi akademik seharusnya tidak hanya didasarkan pada jumlah, tetapi juga pada pengaruh dan kredibilitas jurnal di mana penelitian tersebut dipublikasikan. 

Baca Juga:  Cerita Malam; Siapa Penceramah yang Ditolak dan Diterima?

Dengan demikian, menjaga reputasi akademik melalui publikasi yang bermutu menjadi tanggung jawab bersama, baik oleh individu akademisi maupun institusi pendidikan. Ini adalah langkah penting untuk mencegah degradasi kualitas ilmiah dan menjaga kepercayaan publik terhadap dunia akademik. 

Kedua erosi integritas akademik. Akademisi, terutama guru besar, diharapkan menjadi teladan bagi generasi muda dalam hal integritas ilmiah. Jika mereka terlibat dengan jurnal predator, hal ini dapat menciptakan preseden buruk dan menormalisasi praktik-praktik akademik yang tidak etis di kalangan dosen junior dan mahasiswa. Publikasi ilmiah seharusnya menjadi media untuk berbagi pengetahuan dan hasil penelitian yang sah, bukan alat untuk mengejar pengakuan cepat tanpa proses yang sahih. 

Erosi integritas akademik merupakan salah satu dampak paling meresahkan dari keterlibatan guru besar dengan jurnal predator. Sebagai tokoh sentral dalam dunia pendidikan tinggi, guru besar diharapkan tidak hanya unggul dalam bidang keilmuan, tetapi juga menjadi panutan dalam hal etika dan integritas akademik. Namun, ketika mereka memilih untuk mempublikasikan karya di jurnal predator, mereka secara tidak langsung memberi contoh buruk bagi dosen junior dan mahasiswa, yang akan memandang tindakan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima. 

Fenomena ini dapat menciptakan preseden berbahaya, di mana standar etika akademik terabaikan, dan praktik-praktik akademik yang tidak etis mulai dinormalisasi. Ketika guru besar—yang seharusnya menjadi pilar moral—terlibat dalam praktik-praktik publikasi yang meragukan, hal itu dapat memicu efek domino dalam komunitas akademik. Dosen junior yang ingin mengikuti jejak para seniornya mungkin akan merasa terdorong untuk mengambil jalan pintas yang sama, mempublikasikan karya tanpa melewati proses peer review yang ketat, demi mendapatkan pengakuan cepat atau memenuhi syarat kenaikan pangkat. 

Bagi mahasiswa, terutama mereka yang sedang menempuh pendidikan di jenjang pascasarjana, fenomena ini lebih dari sekadar persoalan publikasi. Ini berpotensi merusak pandangan mereka terhadap integritas ilmiah secara keseluruhan. Mereka mungkin mulai mempertanyakan validitas proses akademik yang selama ini diajarkan, bahkan meragukan esensi dari penelitian itu sendiri. Jika mereka melihat bahwa publikasi di jurnal predator dapat memberikan keuntungan karier tanpa risiko nyata, maka mereka juga bisa tergoda untuk mengikuti jalur yang sama ketika memasuki dunia akademik atau penelitian profesional. 

Salah satu fungsi utama publikasi ilmiah adalah menyebarluaskan hasil penelitian yang sah, yang telah melalui proses evaluasi oleh sejawat yang kompeten di bidangnya. Proses peer review ini merupakan mekanisme penting untuk memastikan bahwa penelitian yang dipublikasikan memiliki dasar yang valid, dapat diuji ulang, dan berkontribusi positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Jurnal predator, dengan mengabaikan atau mengurangi ketatnya proses ini, pada dasarnya merusak ekosistem ilmiah yang sehat dan menggiring akademisi pada pencarian pengakuan cepat tanpa memperhatikan kualitas dan validitas penelitian. 

Oleh karena itu, sangat penting bagi guru besar untuk menyadari dampak yang lebih luas dari tindakan mereka terhadap komunitas akademik. Mereka perlu mempertahankan standar integritas yang tinggi, tidak hanya untuk menjaga reputasi pribadi, tetapi juga demi memastikan bahwa generasi akademisi berikutnya tetap menghargai pentingnya etika dalam penelitian ilmiah. Integritas akademik harus menjadi prinsip yang tidak dapat dikompromikan, karena hal ini adalah fondasi dari semua pencapaian ilmiah yang berkelanjutan. 

Fenomena ini tidak lepas dari berbagai faktor yang saling terkait. Pertama tekanan publikasi.  Di banyak negara, terutama di dunia berkembang, kebijakan pendidikan tinggi memprioritaskan kuantitas publikasi sebagai syarat kenaikan pangkat, pemberian insentif, dan evaluasi kinerja. Hal ini mendorong dosen untuk mencari jalan pintas, termasuk memilih jurnal predator yang menawarkan publikasi cepat dengan sedikit hambatan. Kedua kurangnya literasi ilmiah.  Banyak guru besar yang, meskipun berprestasi dalam mengajar atau administrasi akademik, kurang memahami dinamika penerbitan ilmiah global. Ketidaktahuan akan perbedaan antara jurnal predator dan jurnal terakreditasi sering menjadi celah yang dimanfaatkan penerbit predator. Ketiga kelemahan regulasi dan sistem evaluasi. Tidak semua lembaga pendidikan tinggi memiliki sistem yang solid untuk menilai kualitas jurnal tempat dosen-dosen mereka mempublikasikan karya ilmiah. Sistem evaluasi yang hanya menilai jumlah publikasi tanpa mempertimbangkan kualitas dan dampak jurnal tersebut membuka peluang bagi jurnal predator untuk terus berkembang.

 

Cara Mengatasi

Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini. Pertama, pendidikan literasi ilmiah. Institusi pendidikan tinggi harus memberikan pelatihan kepada dosen, termasuk guru besar, tentang bagaimana mengidentifikasi jurnal predator dan memahami pentingnya mempublikasikan karya ilmiah di jurnal yang bereputasi. Hal ini penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang standar publikasi ilmiah yang sehat. pendidikan literasi ilmiah adalah kunci untuk mengatasi masalah keterlibatan akademisi dengan jurnal predator. Institusi pendidikan tinggi memegang peran penting dalam membekali dosen, termasuk guru besar, dengan pengetahuan yang memadai tentang bagaimana mengenali dan menghindari jurnal predator. Ini tidak hanya penting untuk melindungi reputasi individu akademisi, tetapi juga untuk menjaga integritas dan kualitas penelitian yang dihasilkan oleh institusi akademik itu sendiri. Pelatihan ini seharusnya mencakup beberapa elemen penting. 

Cara mengidentifikasi jurnal predator.  Akademisi perlu dilatih untuk mengenali ciri-ciri jurnal predator, seperti proses peer review yang tidak transparan, biaya publikasi yang tidak masuk akal, kurangnya afiliasi ilmiah yang kredibel, serta tidak adanya indeksasi di database ilmiah terkemuka seperti Scopus, Web of Science, atau DOAJ. Pelatihan ini dapat mengajarkan dosen bagaimana memeriksa legitimasi jurnal sebelum mengirimkan karya mereka untuk dipublikasikan. 

Selain itu, sangat penting untuk menjelaskan kepada dosen mengapa publikasi di jurnal bereputasi harus diutamakan. Jurnal bereputasi memiliki proses peer review yang ketat, yang memastikan bahwa karya ilmiah yang diterbitkan telah melalui evaluasi sejawat yang objektif dan kompeten. Publikasi di jurnal bereputasi tidak hanya meningkatkan kredibilitas penulis, tetapi juga berkontribusi pada peningkatan reputasi lembaga akademik dan pada pengembangan ilmu pengetahuan yang berkualitas. 

Akademisi juga harus memahami dampak jangka panjang dari terlibat dengan jurnal predator, baik dari segi reputasi pribadi, profesional, maupun institusi. Publikasi di jurnal predator bisa mencemari jejak ilmiah akademisi, merusak kepercayaan rekan sejawat, dan bahkan mempengaruhi karir akademik mereka di masa depan. Selain itu, lembaga pendidikan tinggi juga bisa kehilangan kepercayaan publik dan peringkat akademik mereka jika banyak karya ilmiah dari dosen-dosennya dipublikasikan di jurnal predator. 

Pelatihan ini juga harus mencakup penggunaan alat dan sumber daya yang tersedia untuk membantu akademisi memilih jurnal yang tepat, seperti menggunakan daftar jurnal bereputasi, alat penunjuk kualitas jurnal (SJR, h-index), atau platform akademik seperti DOAJ (Directory of Open Access Journals). Akademisi juga harus diberikan informasi tentang daftar hitam jurnal predator yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga tertentu. 

Pendidikan literasi ilmiah yang menyeluruh akan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akademisi tentang standar publikasi yang sehat dan etis. Ini juga akan membantu mereka untuk lebih selektif dalam memilih tempat untuk mempublikasikan karya mereka, sehingga secara kolektif akan meningkatkan kualitas dan kredibilitas riset akademik secara global. 

Kedua, Reformasi Kebijakan. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu meninjau ulang kebijakan evaluasi akademik. Alih-alih menilai berdasarkan kuantitas publikasi, fokus harus dialihkan pada kualitas, dampak ilmiah, serta kontribusi nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat. 

Reformasi kebijakan dalam evaluasi akademik sangat diperlukan untuk menangani masalah yang ditimbulkan oleh jurnal predator dan mendorong terciptanya iklim akademik yang lebih berkualitas dan berintegritas. Saat ini, banyak kebijakan evaluasi akademik yang terlalu berfokus pada kuantitas publikasi sebagai indikator utama prestasi akademik. Meskipun publikasi penting sebagai salah satu tolak ukur produktivitas akademik, pendekatan ini sering kali menyebabkan akademisi, termasuk guru besar, tergoda untuk mengambil jalan pintas, seperti mempublikasikan karya di jurnal predator yang tidak mengikuti standar ilmiah yang benar. 

Reformasi kebijakan harus menempatkan kualitas di atas kuantitas, serta mendorong evaluasi yang lebih menyeluruh terhadap dampak dan relevansi penelitian. Ada beberapa aspek penting dalam reformasi ini. Pengutamaan Kualitas Penelitian.  Pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi harus mengalihkan fokus evaluasi akademik dari sekadar menghitung jumlah publikasi menuju penilaian yang lebih mendalam terhadap kualitas penelitian. Ini bisa dilakukan dengan menilai proses peer review, reputasi jurnal, serta kontribusi penelitian tersebut dalam bidang ilmunya. Akademisi harus dihargai atas penelitian yang memberikan sumbangan bermakna bagi ilmu pengetahuan, terlepas dari jumlah publikasi yang dihasilkan. Pengukuran Dampak Ilmiah. Penilaian kinerja akademik harus didasarkan pada dampak ilmiah dari publikasi, bukan hanya tempat di mana karya tersebut diterbitkan. Dampak ini dapat diukur melalui kutipan, kontribusi terhadap diskusi akademik di bidang terkait, dan dampak sosial dari penelitian tersebut. Misalnya, jika suatu penelitian berhasil memberikan solusi bagi masalah sosial atau ekonomi yang ada, maka hal itu patut dihargai lebih tinggi daripada publikasi yang hanya memperbanyak angka tetapi tidak memiliki pengaruh nyata. Selain dampak ilmiah, kebijakan evaluasi akademik juga perlu mempertimbangkan kontribusi nyata penelitian terhadap masyarakat. Penelitian yang memberikan solusi praktis bagi masalah lokal, nasional, atau global harus mendapatkan pengakuan lebih besar. Misalnya, penelitian yang berdampak pada kebijakan publik, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, atau memajukan teknologi dan inovasi yang berkelanjutan bisa menjadi indikator kontribusi yang relevan. 

Baca Juga:  Kesederhanaan

Evaluasi akademik harus bersifat multidimensional, mencakup aspek-aspek seperti kegiatan pengajaran, mentoring, keterlibatan dalam proyek kolaborasi, serta kontribusi dalam membangun jejaring internasional. Guru besar, sebagai pemimpin akademik, juga perlu dievaluasi berdasarkan peran mereka dalam mengembangkan dan membimbing generasi akademisi muda, bukan hanya melalui publikasi mereka sendiri. Penghargaan untuk Inovasi dan Interdisipliner. Kebijakan juga harus mendorong penelitian yang bersifat inovatif dan lintas disiplin, yang sering kali memberikan kontribusi besar terhadap pemecahan masalah kompleks. Inovasi ilmiah dan penelitian yang melibatkan berbagai disiplin ilmu sering kali membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang dan mungkin tidak menghasilkan publikasi dengan cepat. Oleh karena itu, sistem evaluasi harus mendukung penelitian ini dengan cara yang lebih fleksibel. Penguatan Sistem Monitoring dan Akreditasi: Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan akreditasi untuk mencegah keterlibatan dosen dan peneliti dengan jurnal predator. Misalnya, membuat sistem indeksasi jurnal nasional yang lebih ketat, sehingga hanya jurnal dengan reputasi dan kualitas yang diakui yang dapat digunakan sebagai acuan dalam evaluasi akademik. Selain itu, dosen dan peneliti yang mempublikasikan di jurnal predator harus menerima sanksi yang jelas untuk menjaga integritas sistem. 

Dengan reformasi kebijakan yang lebih fokus pada kualitas, dampak, dan kontribusi nyata, akademisi akan lebih terdorong untuk menghasilkan penelitian yang benar-benar bermakna dan berkualitas tinggi, bukan hanya mengejar angka publikasi. Ini akan menciptakan budaya akademik yang lebih sehat, berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, dan lebih relevan dalam menjawab tantangan yang dihadapi masyarakat.

Akademisi perlu didorong untuk berkolaborasi dengan peneliti di luar negeri dan mempublikasikan karya mereka di jurnal-jurnal bereputasi internasional. Ini tidak hanya meningkatkan kualitas penelitian, tetapi juga memperluas wawasan dan jejaring akademik mereka, menjauhkan mereka dari kebergantungan pada jurnal predator. 

Kolaborasi internasional adalah strategi yang sangat efektif untuk meningkatkan kualitas penelitian akademik dan mengurangi ketergantungan pada jurnal predator. Dengan mendorong akademisi untuk berkolaborasi dengan peneliti di luar negeri dan mempublikasikan karya mereka di jurnal-jurnal bereputasi internasional. Manfaat kolaborasi internasional yang diperoleh adalah: (1) Peningkatan kualitas penelitian. Kolaborasi dengan peneliti dari berbagai negara sering kali membawa perspektif baru, metodologi yang berbeda, dan keahlian yang lebih beragam ke dalam proyek penelitian. Hal ini dapat memperkaya hasil penelitian dan mendorong inovasi, karena para akademisi belajar dari satu sama lain dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penelitian yang dihasilkan dari kolaborasi ini cenderung lebih kuat dan memiliki kredibilitas yang lebih tinggi, sehingga lebih mungkin diterima oleh jurnal-jurnal bereputasi; (2) peningkatan reputasi dan visibilitas. Publikasi di jurnal internasional yang bereputasi tinggi membantu meningkatkan visibilitas karya akademis, memberikan peluang bagi peneliti untuk dikenal dalam komunitas ilmiah global. Ketika karya mereka mendapatkan pengakuan internasional, ini akan berdampak positif pada reputasi pribadi dan institusi tempat mereka bekerja; (3) Memperluas jejaring akademik. Kolaborasi internasional juga memberikan kesempatan untuk membangun jejaring yang lebih luas dengan para peneliti dan akademisi di berbagai belahan dunia. Jejaring ini tidak hanya dapat membuka pintu untuk peluang penelitian di masa depan, tetapi juga membantu akademisi dalam mencari kolaborasi baru, sumber daya, dan pendanaan untuk proyek penelitian. Dengan jaringan yang luas, akademisi akan lebih terhubung dengan tren penelitian terkini dan perkembangan ilmiah di bidang mereka; (4) Peningkatan literasi ilmiah dan praktik terbaik. Melalui kolaborasi dengan peneliti asing, akademisi dapat belajar tentang praktik penelitian terbaik dan standar publikasi yang berlaku di tingkat internasional. Ini dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang pentingnya proses peer review, etika penelitian, dan bagaimana menghindari jebakan jurnal predator. Pendidikan literasi ilmiah yang diperoleh melalui kolaborasi ini dapat membantu akademisi mengembangkan pendekatan yang lebih kritis terhadap publikasi ilmiah; (5) Memperkuat riset lintas disiplin. Kolaborasi internasional juga memungkinkan penelitian lintas disiplin, di mana akademisi dari berbagai disiplin ilmu dapat bergabung untuk mengeksplorasi isu-isu yang kompleks dan multidimensional. Penelitian lintas disiplin sering kali menghasilkan solusi yang lebih inovatif dan praktis, serta membuka peluang baru untuk aplikasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan nyata; (6) Akses terhadap sumber daya dan pendanaan. Banyak proyek penelitian internasional didukung oleh lembaga pendanaan yang memiliki sumber daya lebih besar. Dengan terlibat dalam kolaborasi internasional, akademisi dapat mengakses pendanaan yang mungkin tidak tersedia di tingkat lokal. Ini dapat memungkinkan mereka untuk melakukan penelitian yang lebih ambisius dan berpotensi menghasilkan dampak yang lebih besar.

Untuk mendorong kolaborasi internasional ini, lembaga pendidikan tinggi dan pemerintah dapat mengambil beberapa langkah proaktif, yaitu: (1) Mendukung program pertukaran akademik. Membangun dan mendukung program pertukaran akademik yang memungkinkan dosen dan peneliti untuk bekerja di institusi luar negeri, serta mengundang peneliti internasional untuk berkolaborasi di dalam negeri. (2) Penyediaan fasilitas dan dana untuk kolaborasi. Memberikan dana dan fasilitas bagi akademisi untuk melakukan penelitian kolaboratif dengan peneliti luar negeri, termasuk dukungan untuk perjalanan dan partisipasi dalam konferensi internasional. (3) Promosi kolaborasi dalam kebijakan penelitian. Mengintegrasikan kolaborasi internasional ke dalam kebijakan penelitian dan pengembangan akademik, termasuk dalam kriteria evaluasi kinerja akademisi. 

Dengan memfasilitasi kolaborasi internasional, akademisi tidak hanya akan terhindar dari jurnal predator, tetapi juga dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih luas dan relevan, serta meningkatkan reputasi akademik institusi mereka di kancah global. 

 

Penutup

Guru besar adalah tiang penyangga institusi pendidikan tinggi, dan mereka memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga integritas ilmiah. Terjebaknya mereka dalam cengkeraman jurnal predator tidak hanya merusak reputasi pribadi mereka, tetapi juga mencemari atmosfer akademik secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan literasi ilmiah, mereformasi sistem evaluasi kinerja akademik, serta memperkuat regulasi terhadap jurnal predator demi menjaga marwah pendidikan tinggi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkelanjutan. 

Pernyataan bahwa guru besar adalah tiang penyangga institusi pendidikan tinggi sangat tepat, karena mereka memegang peranan penting dalam menjaga kualitas pendidikan dan penelitian di lingkungan akademik. Sebagai pemimpin di bidang keilmuan, guru besar tidak hanya dituntut untuk menjadi contoh dalam pencapaian akademis, tetapi juga harus menjaga integritas ilmiah. Ketika mereka terjebak dalam cengkeraman jurnal predator, dampaknya tidak hanya merugikan reputasi pribadi mereka, tetapi juga mencemari atmosfer akademik secara keseluruhan. 

Guru besar yang terlibat dalam publikasi di jurnal predator mengirimkan pesan yang keliru kepada generasi akademis yang lebih muda. Hal ini bisa memicu normalisasi praktik-praktik tidak etis dalam publikasi ilmiah, yang berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat terhadap penelitian dan akademisi. Dalam konteks ini, penting untuk menerapkan langkah-langkah strategis guna memitigasi dampak negatif dari jurnal predator dan memperkuat integritas akademik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *